Quantcast
Channel: Ustadz Menjawab – Eramuslim
Viewing all 153 articles
Browse latest View live

Menikahi Janda atau Gadis ya?

$
0
0

sigitAssalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh…

Saya ingin menanyakan apakah seorang pria lajang benar-benar harus menikahi wanita yang belum pernah menikah yang utama dibandingkan seorang janda? bila tidak ada larangan dan bagaimana adab meminangnya secara hukum islam? Insyaallah saya telah ada niat tuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW tuk dengan proses meminang seorang janda. mohon bimbingan dan penjelasan dari pak Ustadz. terima kasih pak ustadz.

Wassalamualaikum…

Waalaikumussalam Wr Wb

Memang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi seorang wanita lajang daripada seorang janda sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah dia berkata; Saya menikah dengan seorang wanita, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku: “Apakah engkau telah menikah?” Saya menjawab; Ya. Beliau kembali bertanya: “Dengan gadis ataukah janda?” Saya jawab; Dengan janda. Beliau lalu bersabda: “Kenapa kamu tidak memilih gadis hingga kamu dapat bercumbu dengannya?”

Namun hal demikian tidaklah selamanya karena bisa jadi seorang janda lebih utama dinikahi daripada seorang wanita lajang dikarenakan mungkin beban-beban utang yang tidak disanggupinya atau beban-beban pembiayaan keseharian anak-anaknya sehingga membutuhkan seorang suami yang bisa meringankannya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang memberi kecukupan kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang berdiri menunaikan qiyamullail dan berpuasa di siang harinya.”

Syeikh Mustafa ar Ruhaibani menyebutkan hadits “Kenapa tidak dengan gadis sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu?.” (Muttafaq Alaihi) dan Syeikh mengatakan,”Kecuali jika terdapat kemaslahatan lebih besar dalam menikahi seorang janda maka hendaklah dia mendahulukan janda daripada lajang dikarenakan kemasalahatan itu.” (Mathalib Ulin Nuha juz I hal 6530)

Tidak ada perbedaan dalam khitbah (meminang) antara seorang janda dengan seorang wanita lajang. Hanya saja seorang janda perlu berterus terang kepada walinya terhadap orang yang datang melamarnya itu berbeda dengan seorang wanita lajang yang cukup hanya dengan diam. Karena tidaklah diperbolehkan bagi seorang wali menikahkan anaknya yang janda tanpa mendapat keredhoannya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?” beliau menjawab: “Bila ia diam tak berkata.”

Imam Muslim meriwayatkan dari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus dimintai izin darinya, dan izinnya adalah diamnya”? Dia menjawab; “Ya.”

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-


Hadis Lemahkah Adzan Dan Iqomat Pada Bayi ?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, mohon dijelaskan apakah ada dalil yang shohih untuk menjadi dasar hukum untuk kebiasaan azan dan iqomat bagi bayi yang baru lahir, sehingga dapat bernilai sebagai ibadah kepada Alloh SWT.

Jazakalloh atas segera jawaban Ustadz

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Wa alaikumusalam warohmatullohi wa barokaatuh

Sungguh suatu kebahagiaan jika kita mendapati kaum muslimin di dalam setiap aktivitas ibadahnya kepada Allah swt berlandaskan dalil, baik Al Qur’an maupun As Sunnah, sehingga akan terpelihara dari kesesatan dan kesalahan.

Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai dalil untuk menyuarakan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri adalah :

1. Sabda Rasulullah saw: “Siapa yang diberikan bayi kemudian diadzankan di telinga kanan dan mengiqomatkan di telinga kiri maka tidak akan terkena bahaya gangguan setan.”

Hadits ini maudhu’ (palsu) : Ia diriwayatkan oleh Abu Ya’la didalam “Musnadnya” (4/1604), darinya Ibnu as Sunni didalam “Amal al Yaum Wa al Lailah” (200/617) demikian juga Ibnu ‘Asakir (16/182/2) melalui jalan Abi Ya’la, Ibnu Basyron didalam “Al Amaali” (88/1), Abu Thohir Al Qursyi didalam “Hadits Ibnu Marwan al Anshori dan selainnya” (2/1) dari jalan Yahya bin al “Alaa ar Rozi dari Marwan bin Sulaiman dari Tholhah bin Ubaidillah al Uqoily dari al Hasan bin ali marfu’

Aku (Syeikh Albani) mengatakan : :”Sanad hadits ini maudhu’ (palsu), Yahya bin al ‘Ala, Marwan bin Salim yang menjadikan hadits ini maudhu’ dan diperkuat oleh Ibnul Qoyyim dalam “Tuhfatul Maudud” hal. 9 milik Al baihaqi dan dia mengatakan : Isnad hadits ini dho’if (lemah).

2. Sabda Rasulullah saw : Dari Abu Rofi, “Aku menyaksikan Rasulullah saw mengadzankan dengan adzan sholat di telinga Hasan saat Fatimah melahirkannya.”
Tirmidzi mengatakan : ”Hadits Shohih dan diamalkan.”

Al Mubarokfuriy yang menjelaskan hadits ini mengatakan setelah dia menjelaskan kedhoifan sanadnya dan berdalil dengan perkataan para imam dalam riwayat ‘Ashim bin Ubaidillah : “Jika engkau mengatakan : Bagaimana beramal dengannya padahal ia dhoif (lemah)? Aku mengatakan : “Ya, hadits ini lemah akan tetapi dia diperkuat oleh hadits Husein bin Ali ra yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al Mushiliy dan Ibnu as Sunni.” !

Perhatikanlah, bagaimana dia menguatkan yang dhoif dengan yang maudhu’, dan tidaklah itu (dilakukan) kecuali dikarenakan tidak adanya pengetahuan terhadap kemaudhuannya dan pengelabuannya terhadap keinginan para ulama yang kami sebutkan dan hampir-hampir aku pun jatuh seperti itu, maka perhatikanlah!

Ya, barangkali penguatan hadits Abi Rofi’ dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwasanya Nabi saw mengadzankan di telinga Husein bin Ali pada hari kelahirannya dan mengiqomatkan di telinga kirinya.” dikeluarkan oleh Baihaqi di dalam “Asy Syu’ab” bersama hadits Hasan bin Ali dan dia berkata: “Di dalam sanad keduanya ada kelemahan.” Seperti juga disebutkan Ibnul Qoyyim didalam “at Tuhfah” hal. 16.

Aku (Syeikh Albani) mengatakan :”Bisa jadi sanad yang ini lebih baik dari sanadnya hadits Hasan dikarenakan bisa memberikan persaksian terhadap hadits Rofi’. Wallahu A’lam.”

Jika demikian, maka hadits itu bisa menjadi dalil untuk menyuarakan adzan karena ia juga terdapat dalam hadits Abi Rofi’. Adapun iqomat maka ia ghorib (lemah). Wallahu A’lam
(Silsilah al Ahadits adh Dho’iifah Wal Maudhu’ah, jilid 491 – 493

Jadi dari penjelasan di atas tampak bahwa hadits-hadits tersebut termasuk kategori dhoif (lemah).

Namun demikian, terjadi perbedaan ulama dalam hal beramal dengan hadits yang dhoif :

1. Pendapat pertama : Tidak boleh sama sekali beramal dengan hadits dhoif, tidak dalam hal keutamaan ataupun hukum. Ini adalah pendapat Yahya bin Ma’in, Abu Bakar al ‘Arobi, Imam Bukhori dan Muslim dan juga Ibnu Hazm.

2. Pendapat Kedua : Dibolehkan beramal dengan hadits dho’if. Ini pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad.

3. Pendapat Ketiga : Dibolehkan beramal dengan yang dhoif dalam hal-hal keutamaan, nasehat-nasehat dan yang sejenisnya selama memenuhi persyaratan—sebagaiamana disebutkan oleh Syiekhul islam Ibnu Hajar—yaitu :
1. Dhoifnya tidak keterlaluan.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang diamalkan.
3. Tidak meyakini bahwa amal itu betul-betul terjadi akan tetapi meyakini secara hati-hati.
(Ushul al Hadits ‘Ulumuhu Wa Mushtholatuhu, DR. Muhammad ‘Ajjaj al Khotib, hal 351)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo Lc-

Bolehkah Nama Isteri Digandeng dengan Nama Suami?

$
0
0

sigitAssalamualaikum,

Ustadz, benarkah memakai nama selain nama ayah di belakang nama kita (sekalipun tidak mengganti ataupun mengurangi sedikitpun nama kita), hukumnya haram?

Saya mendengar tentang hukum haram memakai nama suami bagi istri, namun masih ragu dengan kebenarannya. Bila memang haram, apakah itu juga berlaku bagi orang yang menamakan anaknya dengan nama orang tuanya (anak memakai nama kakeknya)?

Contoh : Tien Suharto, Nani Yudhoyono, dsb

Terima kasih.

Wassalamualaikum.

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Riana yang dimuliakan Allah swt

Tidak diperbolehkan menasabkan seseorang dengan selain nama ayahnya termasuk menggandengkan nama seorang istri dengan nama suaminya sebagaimana banyak terjadi di negeri-negeri barat. Seperti seorang wanita —misalnya— yang bernama Siti menikah dengan Ahmad lalu wanita itu dipanggil dengan Siti Ahmad.

Perbuatan di atas termasuk menasabkan kepada bukan ayahnya yang dilarang Allah swt berdasarkan firman-Nya :

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab [33] : 5)

Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 17398 menyebutkan bahwa menyandarkan nama istri kepada nama suaminya atau keluarga suaminya dan mencukupkan dengannya daripada nama ayahnya tidaklah diperbolehkan. Hal itu termasuk di antara kebiasaan orang-orang kafir.

Allah swt berfirman :

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al Ahzab [33] : 5)

Allah juga berfirman :

“Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya,” (QS. Al Ahzab [33] : 12)

Begitu juga dengan nama para istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dinasabkan kepadanya meski agungnya kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah dan di sisi manusia. Akan tetapi mereka dipanggil dengan Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Zainab binti Jahsy begitu pula yang lainnya.

Dan jika seorang istri disandarkan kepada suaminya dengan penyandaran suami istri bukan nasab, sebagaimana didalam ayat :

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (QS. At Tahrim [66] : 10)

Maka haruslah disebutkan Fulanah istri Fulan atau Istri Fulan sementara didalam nasab dan surat-surat dokumen tidakla disebut kecuali dengan Fulanah binti Fulan. (ayahnya).

Adapun sebab mengapa penggandengan nama istri dengan suaminya termasuk kedalam penggantian nasabnya kepada selain nama ayahnya maka menurut Syeikh Muhammad Sheleh al Munjid karena besarnya pengaruh barat didalam pemberian nama.

Diantaranya adalah apa yang banyak terjadi di masyarakat sekarang dengan menghilangkan lafazh “bin” atau “binti” diantara nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sebab —awalnya— adalah pengadopsian anak-anak yang banyak dilakukan oleh. sebagian keluarga lalu mereka menggandengkan nama-nama mereka (anak-anak itu) kepada nama-nama mereka sehingga mereka dipanggil dengan “Fulan Fulan” sedangkan terhadap anak-anak mereka yang sebenarnya dipanggil dengan Fulan bin Fulan.

Lalu secara perlahan —pada abad ke-14— mereka menghilangkan lafazh “bin” dan “binti” dan ini ditolak baik dari aspek bahasa, kebiasaan maupun syar’i.

Beliau juga menambahkan bahwa tidak ada hubungan nasab antara suami dan istri lantas bagaimana bisa digandengkan kepada nasabnya lalu bagaimana jika dia diceraikan atau suaminya meninggal dunia atau wainta itu menikah dengan lelaki lain maka apakah nasabnya terus dirubah setiap kali wanita menikah dengan lelaki lain? (al Islam Sual wa Jawab)

Adapun menamakan anak dengan nama ayahnya atau nama kakekanya, seperti Ahmad bin Ahmad atau Ahmad bin Zaid bin Ahmad maka dibolehkan.

Wallahu A’lam.

Bolehkah Bercinta di Kamar Mandi?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, sebelumnya saya minta maaf jika saya bertanya sesuatu yang tidak pantas. Tapi, saya benar benar ingin mengetahui hukumnya. Apakah hukumnya bercinta dengan suami di kamar mandi?

Wassalamualaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Islam sebagai agama yang syamil (universal) merupakan rahmat yang tidak hanya buat umatnya namun juga buat seluruh mankhluk. Sebagai sebuah rahmat kehidupan yang bisa dinikmati oleh umatnya maka diutuslah Rasulullah Muhammad saw yang menjadi contoh aplikatif realistis seluruh ajaran islam.

Sebagai sebuah contoh sempurna di semua aspek kehidupan maka segala apa pun yang berasal darinya tidaklah lepas dari bimbingan wahyu Robb-nya, sebagaimana firman Allah swt,”Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm : 3 – 4)

Termasuk yang bersumber dari Rasulullah saw yang sebagian kaum muslimin masih menganggapnya taboo adalah perihal variasi dan seni bercinta. Mereka menganggap hal ini tidak perlu dibahas dan dipelajari karena hal ini sudah menjadi naluri setiap manusia. Padahal realitanya tidaklah demikian, banyak dari pasangan suami isteri yang tidak merasakan kenikmatan dalam bercinta meskipun hubungan itu sudah sering dilakukan.

Kalaulah setiap pasangan suami isteri menyadari bahwa persetubuhan diantara mereka adalah ibadah, dan pada umumnya ibadah bahwa ia memerlukan ilmu dan pengetahuan sehingga mendapatkan ridho dari Allah swt.

Islam sebagai sebuah tuntunan hidup bagi umatnya selain bersifat universal ia juga moderat yang menyikapi segala sesuatunya dengan proporsional, tidak berlebih-lebihan dan tidak juga meremehkan, termasuk dalam permasalahan seksual. Islam tidak menginginkan umatnya dalam melakukan hubungan seksual seperti yang dilakukan orang-orang barat yang tanpa aturan, semua boleh, dimanapun dan dalam kondisi apapun hubungan seks dilakukan sah-sah saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Terlaknatlah orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” (HR. Ahmad).

Islam juga tidak menginginkan umatnya mengabaikan permasalahan seksual yang dianggap hanya sebagai sebuah rutinitas tanpa memperhatikan kepuasan dalam bercinta diantara suami-isteri, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah saw bersabda,” Apabila salah seorang diantara kalian menyetubuhi istrinya maka lakukanlah dengan penuh semangat. Jika dia sudah hendak ejakulasi sementara isterinya belum sampai pada klimaksnya maka janganlah tergesa-gesa untuk menyudahinya sehingga isterinya mencapai klimaksnya.” (HR. Abu Ya’la)

Variasi bercinta diperlukan bagi pasangan suami-isteri untuk terus menjaga gairah bercinta dan sikap saling menyayangi diantara keduanya. Dan diantara variasi yang mungkin bisa dilakukan adalah bagaimana bercinta di kamar mandi.

Meskipun bercinta dilakukan kamar mandi, namun suasana keindahan, kenyamanan dan kebersihan tetaplah harus diperhatikan. Untuk menambah gairah diantara keduanya bisa terlebih dahulu memberikan pengharum kamar mandi dan saling memberikan wangi-wangian ke tubuh pasangannya terlebih dahulu. Ingat, tujuan utamanya kan bukan untuk mandi seperti biasanya tetapi untuk bercinta.

Aisyah ra berkata,”Aku memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw kemudian dia menggilir para isterinya, kemudian pada pagi harinya dia mengenakan pakaian ihram.” (HR. Bukhori)

Ibnu Hajar mengatakan,”Perkataan menggilir isterinya adalah istilah untuk bersenggama yang mewajibkannya mandi. Dan disebutkan di dalam hadits itu bahwa Aisyah memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw sebelumnya dan pada pagi harinya beliau sudah mengenakan ihram.” Ia menambahkan ,”Ibnu Bathol mengatakan, ’Disunnahkan bagi laki-laki dan wanita untuk memakai parfum / wewangian saat bersetubuh.” (Fathul Bari juz I hal 458)

Pada saat mandi, suami isteri bisa saling menciduk air secara bergantian dan menyirami tubuh pasangannya dan membersihkannya. Atau suami isteri juga bisa berada didalam satu wadah yang bisa menampung keduanya, seperti bak mandi atau bathup, tidak mengapa kalaupun saling melihat aurat diantara mereka berdua. Dan hendaklah menghindari kemubadziran didalam penggunaan air.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata,”Aku pernah mandi bersama Nabi saw dalam satu bejana yang disebut al Farq.” (HR. Bukhori). 1 farq = 16 kati = ±18 liter.

Ad Dawudi menggunakan hadits ini sebagai dalil diperbolehkannya seorang laki-laki melihat aurat isterinya atau sebaliknya. Hal ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya dia ditanya tentang seorang laki-laki yang melihat kemaluan isterinya maka dia menjawab,”Saya bertanya (tentang hal yang sama) kepada Atho’. Maka dia menjawab,’Aisyah pernah bertanya (tentang hal ini) maka beliau menyebutkan hadits ini.” Artinya hadits ini menjadi dalil dalam permasalahan ini. (Fathul Bari juz I hal 438)

Diriwayatkan dari Abi Salamah bin Abdurrahman mengatakan,”Telah berkata Aisyah,’Aku mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bejana dan kami sama-sama dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah ra berkata,”Aku pernah mandi bersama Nabi saw dari satu bejana, tangan kami saling bergantian menciduknya.” (HR. Muslim)

Jadi meskipun bercinta dilakukan di kamar mandi hendaklah suami isteri tetap memperhatikan kepuasan masing-masing pasangannya, tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Orang-orang barat menyebut seks dengan istilah bercinta dan jika kita lihat dari kaca mata islam sepertinya pengistilahan tersebut sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan rambu-rambu syariat. Seks cenderung dilakukan terburu-buru dan ingin cepat selesai tanpa memperhatikan pemanasana (mula’abah) dan kepuasan pasangannya, sebaliknya dengan bercinta.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bercinta Dengan Dua Isteri

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr. Wb.

Terima kasih atas banyak nasihat yang diberikan pak Ustadz atas banyak masalah fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali memberikan manfaat bagi kehidupan keluarga kami sehari-hari, walaupun lewat pertanyaan dari saudara-saudari muslim yang lain.

Saat ini saya ingin menanyakan satu masalah saja. Bolehkah bagi seorang suami yang memiliki dua istri mencampuri istri-istrinya pada waktu yang bersamaan?? Bagaimana hukumnya??

Mohon penjelasannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Waalikumussalam Wr Wb

Saudara Sri yang dimuliakan Allah swt

Sesungguhnya seorang suami yang menggauli dua isterinya sekaligus akan membawa pengaruh negatif bagi isteri-isterinya itu sendiri selain dari penampakkan aurat seorang isteri kepada isteri yang lainnya.

Kemampuan seorang suami sangatlah terbatas untuk bisa memberikan kepuasan yang sama kepada kedua isterinya yang digaulinya secara bersamaan itu baik didalam permainan-permaianan jima’nya maupun tempat ditumpahkan spermanya. Hal ini akan memunculkan kecemburuan bahkan kebencian didalam diri isterinya yang tidak merasa terpuaskan oleh suaminya sementara dia menyaksikan secara langsung bahwa kepuasan itu dirasakan oleh isterinya yang lain.

Abdul Wahab Hamudah, penulis kitab “Ar Rasul Fii Baitih” mengatakan bahwa cemburu merupakan salah satu pembawaan wanita yang khas. Kecemburuan merupakan watak wanita dan memiliki bentuk yang bermacam-macam…. Seorang perempuan umumnya cemburu kepada jenisnya yang berpenampilan cantik, walau perempuan itu bukan saingannya terhadap laki-laki yang dicintainya. Perasaan cemburu itu lebih-lebih terhadap perempuan yang benar-benar menjadi saingan atau madunya… Selain itu kaum perempuan juga begitu cemburu atau tidak senang dengan memperlihatkan ekspresi sinisme, karena melihat seorang perempuan yang berhias secara mencolok atau berpakaian secara berlebih-lebihan, sehingga tampak tak wajar.” (Romatika dan Problematika Rumah Tangga Rasul hal 127)
Tentunya kecemburuan seorang isteri terhadap isteri suaminya yang lain akan jauh lebih besar jika sudah menyangkut perihal hubungan seks diantara mereka dengan suaminya terlebih lagi jika satu sama lain saling melihat mereka berhubungan.

Hal lainnya adalah didalam persetubuhan yang dilakukan seorang suami dengan kedua isterinya secara bersamaan memungkinkan diantara kedua isterinya akan saling memandang aurat mereka dan hal ini diharamkan menurut kesepakatan para fuqaha berdasarkan sabda Rasulullah saw ,”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki (lain) dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita (lain) dan berada didalam satu selimut.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Dengan demikian tidak diperbolehkan bagi seorang suami menggauli kedua isterinya secara bersamaan dalam satu tempat tidur atau menggauli salah satunya dengan disaksikan oleh istrinya yang lain.

Dibolehkan baginya untuk menggauli seorang isterinya setelah ia menggauli isterinya yang di lain di tempat yang terpisah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang berkeliling untuk menggauli isteri-isterinya dalam satu malam.

Diriwayatkan dari Qatadah berkata bahwa Anas bin Malik pernah bercerita kepada kami bahwa Nabi saw pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu waktu sehari semalam dan jumlah mereka ada sebelas orang. Qatadah mengatakan,’Aku bertanya kepada Anas,’Seberapa kuat beliau saw?’ Dia menjawab,’Kami pernah memperbincangkannya bahwa kekuatan beliau saw sebanding dengan (kekuatan) tiga puluh orang.” Said berkata dari Qatadah,’Sesungguhnya Anas menceritakan kepada mereka bahwa jumlah isteri-isterinya saw adalah sembilan orang.” (HR. Bukhori)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Bergerak Lebih dari Tiga Kali Selain Gerakan Sholat, Sholat Batal?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.,

Benarkah shalat bisa batal karena melakukan lebih dari tiga kali gerakan selain gerakan shalat? Adakah dalilnya?

Terima kasih,

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Sholat merupakan komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Robbnya (Allah swt) sehingga diperlukan kekhusyu’an dan ketenangan. Di antara hal yang disepekati para ulama adalah bahwa banyaknya gerakan dalam sholat yang tidak termasuk dalam gerakan sholat itu sendiri baik disengaja atau karena lupa maka membatalkan sholat.

Para ulama Syafi’iyah memang mengembalikan makna gerakan yang banyak kepada kebiasaan yang lazim yaitu tiga kali gerakan atau lebih secara berturut-turut. Dan pengertian berturut-turut adalah suatu gerakan yang bersambung dengan gerakan yang lainnya.

Namun demikian untuk melihat bagaimana sebenarnya permasalahan ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi yang dinukil oleh Sayyid Sabiq didalam bukunya Fiqhus Sunnah, bahwa Imam Nawawi mengatakan, ”Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat jika ia menimbulkan banyak gerak itu membatalkan, tetapi jika hanya menimbulkan sedikit gerak, itu tidaklah membatalkan. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran yang banyak atau gerak yang sedikit terdapat empat pendapat.”

Imam Nawawi memilih yang keempat, ”Adapun pendapat yang shahih dan masyhur ialah mengembalikan soal itu kepada kebiasaan yang lazim. Jadi yang biasa dianggap sedikit oleh orang banyak, seperti memberi isyarat ketika menjawab salam, menanggalkan sandal, melepaskan sorban dan meletakkannya, juga mengenakan pakaian yang ringan atau melepaskannya, begitu pula mengambil benda kecil atau meletakkannya, menolak orang yang hendak lewat di depan atau menggosok lendir di baju dan lainnya, semua itu tidaklah membatalkan. Akan tetapi, kalau menurut orang pekerjaan itu dikategorikan gerak yang banyak, seperti banyak melangkah dan berturut-turut atau melakukan perbuatan yang sambung-menyambung, hal itu membatalkan.”

Selanjutnya,kata Nawawi, ”Sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu ialah jika berturut-turut. Jadi, jika gerakannya berselang-seling, tidaklah membatalkan shalat, seperti melangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Seandainya ini diulang-ulang walaupun sampai seratus langkah atau lebih tidaklah apa-apa. Adapun gerakan ringan seperti menggerakkan jari untuk menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lainnya, hal itu tidaklah membatalkan shalat walaupun dilakukan secara berturut-turut dan hukumnya hanya makruh. Syafi’i telah menghitung-hitung bacaan ayat dengan cara menggenggamkan tangan tidaklah membatalkan shalatnya, tetapi sebaiknya hal itu ditinggalkan.” (Fiqhus Sunnah edisi terjemahan juz I hal 411 – 412)

Jadi batal tidaknya gerakan—yang bukan gerakan sholat—sebanyak tiga kali di dalam sholat dikembalikan kepada kebiasaan yang lazim. Jika memang kebiasaan masyarakat setempat menganggap bahwa tiga kali gerakan adalah tidak termasuk dalam banyak gerakan maka diperbolehkan dan jika masyarakat menganggap sebaliknya maka batal sholatnya. Sebagaimana hadits Rasulullah saw bahwa beliau saw sedang sholat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah saw dari Abil ‘Ash bin Robi’ah bin Abdisy Syams.. Tatkala beliau saw bersujud maka beliau saw meletakkannya dan apabila beliau saw berdiri kembali menggendongnya.” (HR Bukhori)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Hak Harta Isteri yang Berkerja

$
0
0

sigit“Assalamu’allaykum warahmatullahi wabarakatuh ustadz…”

ustadz, bagaimana sih hukum nya jika suami istri sama-sama bekerja? yang saya tahu harta suami itu harta istri juga, tapi harta istri mutlak milik istri itu sendiri….

  • apa benar itu pak ustadz..??
  • bagaimana jika istri memberikan sebagian dari gajinya untuk orang tua kandungnya sendiri dan tanpa sepengetahuan suami?? apa berdosa kah istri..??
  • dan bagaimana jika suami memberikan uang kepada orang tuanya sendiri tanpa setahu istrinya..??

wassalamu’allaykum wr.wb…

Hamba Alloh

Waalaikumussalam Wr Wb

Kewajiban Suami Bekerja

Islam membebankan pemberian nafkah keluarga ada dipundak para suami bukan para istri. Oleh karena itu dituntut kepada para suami untuk keluar rumah mencari karunia Allah demi memenuhi kewajiban tersebut. Adapun besar pemberian nafkah tidaklah ditentukan besarnya akan tetapi disesuaikan dengan kadar kemampuan mereka.

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah : 233)

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)

Abu Daud meriwayatkan dari Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya, ia berkata; aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian.”

Adapun terhadap para istri dikarenakan tidak ada kewajiban padanya untuk memberikan nafkah kepada keluarganya maka tidak ada kewajiban baginya untuk bekerja mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Islam melarang seorang istri bekerja ke luar rumah tanpa mendapatkan izin dari suaminya kecuali jika si istri telah mengajukan persyaratan disaat akad nikah agar dirinya diizinkan bekerja setelah berumah tangga.

Hal demikian didasarkan pada firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al Maidah : 1)

Juga apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al Muzanni bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Akan tetapi seorang suami bisa bahkan wajib memutuskan persyaratan tersebut atau tidak memberikan perizinan kepada istrinya bekerja lagi ketika terdapat hal-hal yang dilarang syariat didalam pekerjaannya, seperti : jenis pekerjaannya termasuk yang diharamkan Allah, tidak adanya keamanan terhadap istrinya baik ketika di perjalanan maupun kantor, tidak menjaga adab-adab islami didalam pekerjaannya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada pada Kitabullah, maka tidak berlaku sekalipun dia membuat persyaratan seratus kali.”

Penghasilan Istri dan Suami

Tentang penghasilan istri maka ia adalah milik dirinya pribadi bukan milik suaminya sebagaimana harta-harta pribadi lainnya, seperti warisan, bisnis atau maharnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An Nisaa : 29)

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An Nisaa : 4)

Dan jika seorang istri bekerja dikarenakan adanya persyaratan disaat akad nikahnya maka tidak diperbolehkan bagi suaminya untuk mengambil hasil gajinya, baik sedikit atau banyak. Akan tetapi jika seorang istri bekerja bukan karena adanya persyaratan disaat akad nikahnya maka hendaklah si istri ikut berkontribusi didalam nafkah keluarganya dikarenakan waktu yang digunakannya untuk bekerja pada dasarnya adalah hak suaminya, demikian menurut Syeikh Muhammad Shaleh al Munjid.

Al Bahuti mengatakan,”Tidaklah seorang istri mempekerjakan dirinya sendiri setelah akad nikah tanpa izin suaminya dikarenakan adanya penghilangan hak suaminya.” (ar Roudh al Murabba’ hal 271)

Begitu juga dengan harta suami maka ia adalah milik suaminya pribadi namun diwajibkan baginya untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengambil, membelanjakan atau menggunakannya tanpa seizinnya.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh seorang istri memberikan suatu pemberian kecuali dengan seizin suaminya.”

Imam Nawawi mengatakan bahwa seorang istri tidak berhak mensedekahkan sesuatu dari harta suami tanpa seizinnya demikian pula pembantu. Dan jika mereka berdua melakukan hal demikian maka mereka berdua telah berdosa.” (Shahih Muslim bi Syarh an Nawawi juz VI hal 205)

Namun hal diatas dikecualikan terhadap sesuatu yang tidak seberapa nilainya menurut kebiasaan atau karena kebakhilan suami dalam menafkahkan istrinya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari ‘Aisyah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang wanita bersedekah dari makanan yang ada di rumah (suami) nya bukan bermaksud menimbulkan kerusakan maka baginya pahala atas apa yang diinfaqkan dan bagi suaminya pahala atas apa yang diusahakannya. Demikian juga bagi seorang penjaga harta/bendahara (akan mendapatkan pahala) dengan tidak dikurangi sedikitpun pahala masing-masing dari mereka”.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata, “Wahai Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu.”

Memberikan Orang Tua dari Penghasilan Masing-masing Tanpa Seizin Pasangannya

Berdasarkan penjelasan diatas telah diketahui bahwa masing-masing dari suami istri berhak atas kepemilikan hartanya masing-masing. Namun terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang keharusan izin suami bagi seorang istri didalam membelanjakan hartanya sendiri. Sebagian mereka berpendapat harus dengan izin suaminya sementara itu jumhur ulama tidaklah mengharuskannya.

Menurut Syeikh Hisamuddin ‘Afanah bahwa pendapat yang kuat adalah yang menyatakan bahwa tidak ada keharusan izin dari suami bagi seorang istri yang hendak membelanjakan atau menggunakan hartanya sendiri.

Diantara alasan-alasan yang digunakan beliau adalah :

1. Bahwa hadits-hadits yang digunakan oleh mereka yang mengharuskan perizinan dari suaminya adalah lemah dan tidak bisa dipakai sebagai dalil.
2. Jumhur mengatakan bahwa seandainya kita menerima keshahihan hadits-hadits yang digunakan oleh mereka yang beresebrangan maka pastilah tetap akan didahulukan hadits-hadits kami daripada hadits-hadits meeka dikarenakan lebih shahih.
3. Sesungguhnya keumuman dalil yang digunakan oleh jumhur lebih kuat daripada hadits-hadits yang tidak bersih dari cela.
4. Seandainya kita menshahihkan hadits-hadits tersebut maka sesungguhnya hadits-hadits itu menunjukkan perbuatan baik seorang istri kepada suaminya bukan menjadi sebuah keharusan. (Fatawa Yas Aluunaka juz VII hal 182 – 187)

Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang istri memberikan suatu pemberian kepada orang tuanya dari hartanya sendiri meski tanpa ada izin dari suaminya apalagi jika orang tuanya termasuk fakir atau yang tidak berpenghasilan. Namun demikian sebaiknya bagi seorang istri untuk membicarakan dan mendiskusikan keinginanya itu kepada suaminya terlebih dahulu.

Adapun seorang suami yang ingin memberikan sesuatu kepada orang tuanya maka tidaklah ada keharusan mendapatkan izin dari istrinya terlebih lagi jika orang tuanya termasuk fakir atau tidak berpenghasilan selama ia memiliki kelebihan dari nafkah yang diberikan kepada keluarganya. Bahkan pemberiannya kepada orang tuanya yang demikian keadaannya menjadi sebuah kewajiban.

Akan tetapi jika si suami tidak memiliki kelebihan harta dari nafkah yang diberikan keluarganya maka tidaklah ada kewajiban baginya memberikan sesuatu kepada orang tuanya. Dan jika dia memberikannya maka hal itu adalah sebuah perbuatan baik seorang anak kepada orang tuanya dan hendaklah hal ini didiskusikan dengan istrinya dan mendapatkan persetujuannya. Hal itu dikarenakan dalam keadaan seperti itu maka memberikan nafkah kepada istri adan anak-anaknya lebih diutamakan daripada orang tuanya.

Imam Muslim meriwayatkan dari dari Tsauban ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik dinar (uang atau harta) yang dinafkahkan seseorang, ialah yang dinafkahkan untuk keluarganya, untuk ternak yang depeliharanya, untuk kepentingan membela agama Allah, dan nafkah untuk para sahabatnya yang berperang di jalan Allah.” Abu Qilabah berkata; Beliau memulainya dengan keluarga.”

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Siapa yang Lebih Diprioritaskan , Isteri atau Ibu ?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr Wb

Sebelumnya saya mendoakan, semoga ustadz selalu mendapat rahmat dari Allah swt.

Ustadz langsung aja saya mau bertanya:

  • saya sebagai seorang suami ingin sekali tau apa -apa saja kewajiban istri terhadap suami.
  • mana yg harus lebih saya patuhi isteri dan ibu mertua atau ibu kandung, atau mana yg lebih saya dahulukan kalau keduanya menyuruh saya dalam hal kebaikan. terimakasih

Muhammad zein / Pratama

Waalaikumussalam Wr Wb

Kewajiban Istri terhadap Suami

Firman Allah swt

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)

Manusia sudah mengenal akan perasaannya terhadap lawan jenisnya. Hubungan antara dua jenis yang berlainan ini menggetarkan urat-urat dan perasaan mereka. Berbagai perasaan dan orientasi yang campur aduk antara laki-laki dan perempuan mendorong langkah-langkah mereka serta menggerakkan aktivitas mereka.

Akan tetapi tidak banyak manusia yang ingat bahwa tangan Allah lah yang menciptakan bagi mereka istri-istri dari jenis mereka sendiri, memberikan berbagai sifat belas kasih dan perasaan, menjadikan didalam hubungan tersebut ketenangan jiwa dan urat syaraf, kesejukan diri dan hati, pengukuhan hidup dan kehidupan, kelembutan diri dan perasaan serta ketentraman baik bagi laki-laki maupun perempuannya. (Fi Zhilalil Qur’an juz V hal 2763)

Untuk itu perlu adanya kebersamaan didalam membangun suatu rumah tangga demi mencapai sasaran-sasaran yang disebutkan diatas. Diantara kebersamaan itu adalah saling mengetahui dan memahami kewajiban-kewajiban dan hak-hak masing-masing terhadap mitranya tersebut.

Pada jawaban beberapa waktu lalu, saya sudah menyebutkan beberapa kewajiban suami terhadap istrinya, maka perlu juga untuk diketahui kewajiban istri terhadap suaminya, diantaranya :

1. Mentaati suaminya selama tidak memerintahkannya kepada perkara-perkara yang maksiat kepada Allah.

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً

Artinya : “Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisaa : 34)

Sabda Rasulullah saw,”Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan kemudian dia tidak menyambutnya sehingga malam itu suaminya tidur dalam keadaan marah terhadapnya maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh.” (Muttafaq Alaih)

Sabda Rasulullah saw,”Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Muslim)

2. Menjaga kehormatan suami.

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ

Artinya : “Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An Nisaa : 34)

3. Memelihara harta, anak-anak dan berbagai perkara rumah tangganya.

Sabda Rasulullah saw,”Seorang istri adalah orang yang bertanggung jawab terhadap rumah suami dan anak-anaknya.” (Muttafaq alaih)

Sabda Rasulullah saw,”..Maka janganlah mereka (para istri) mengizinkan seseorang berada didalam rumah kalian orang yang kalian (suaminya) tidak sukai.” (HR. Thabrani)

4. Tidak keluar dari rumah tanpa izin dan ridho suaminya, menjaga pandangan, merendahkan suara, menahan dirinya dari berbuat buruk dan juga lisannya dari berkata keji, durhaka terhadap kedua orang tua dan kerabatnya.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ

Artinya : “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzab : 33)

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

Artinya : “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik,” (QS. Al Ahzab : 32)

لاَّ يُحِبُّ اللّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوَءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Artinya : “Allah tidak menyukai Ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An Nisaa : 148)

Artinya : “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 31)

Sabda Rasulullah saw,”Sebaik-baik istri adalah jika kamu melihat dirinya maka menyenangkanmu, jika kamu memerintahnya maka dia mentaatimu, jika kamu tidak ada maka dia menjaga dirinya dan hartamu.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi) (Minhajul Muslim hal 71)

Mana yang Didahulukan Istri atau Ibu

Kedua-duanya, baik ibu maupun istri adalah dua wanita yang memiliki kedudukan sangat penting didalam kehidupan seorang laki-laki. Ibu adalah sebab keberadaannya di dunia sedangkan istri adalah sebab yang memberikan ketenangan dan ketentraman jiwanya didalam rumah tangganya.

Seorang ibu yang shaleh akan melahirkan anak-anak yang shaleh dengan pendidikan dan bimbingannya terhadap mereka. Sedangkan istri yang shaleh akan menjadikan rumah tangga dan keluarga suaminya penuh dengan cinta dan kasih sayang dengan pendampingannya didalam ketaatan kepada Allah swt dan pemenuhan kewajiban-kewajibannya terhadap suaminya.

Namun jika dia dihadapkan oleh dua perintah yang sama derajat hukumnya di dalam timbangan syariah (sama-sama wajib, sunnah atau mubah) dalam satu kondisi maka perintah ibu harus lebih diutamakan daripada istrinya.

Hal yang demikian dikarenakan bahwa kedudukan laki-laki itu adalah anak terhadap ibunya. Seorang anak diwajibkan untuk mentaati ibunya didalam kebaikan dan ketaatan selama tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Artinya : “dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al Israa : 23 – 24)

Sabda Rasulullah saw kepada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya saw dan berkata,”Siapa yang lebih berhak diperlakukan baik? Beliau saw menjawab,’Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi,’Siapa lagi?’ Beliau saw menjawab,’Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi,’Siapa lagi?’ Beliau saw menjawab,’Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi,’Siapa lagi?’ beliau saw menjawab,’Ayahmu.” (Muttafaq Alaih)

Sedangkan kedudukan laki-laki itu terhadap istrinya adalah suami baginya. Seorang suami berkewajiban menjaga, memelihara dan mengarahkannya didalam perkara-perkara yang diridhoi Allah swt sedangkan istri berkewajiban mentaati perintah suaminya selama perintah itu tidak dalam perkara-perkara maksiat kepada Allah swt, seperti hadits diatas,”Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Muslim)

Hal lain yang bisa dijadikan sebagai suatu alasan mengapa ketaatan seorang laki-laki kepada ibunya lebih didahulukan daripada istrinya adalah kaidah fiqih ”Apabila pokoknya tidak ada maka tidak ada pula cabangnya.”. Anak adalah cabang dari induknya, yaitu ibu dan ayah. Tidak akan ada diri anak tersebut tanpa keberadaaan ibu dan ayahnya.

Sedangkan istri bukanlah pokok atau induk baginya, ia adalah mitra yang berdiri sejajar dengan suaminya didalam kehidupan berumah tangga. Apabila diposisikan istri tidaklah berada diatas suaminya sebagaimana ayah maupun ibu suaminya namun ia berada disamping suaminya.

Jadi jika tidak ada ibu maka tidak ada laki-laki itu (anaknya) dan tidak ada pula hubungan orang itu sebagai suami bagi istrinya itu.

Wallahu A’lam


Sering Sakit , Apakah Karena Rumah Belum ‘Tasyakuran’ ?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr. Wb
Pak Ustadz Yth, saya seorang laki-laki, usia 32 tahun, menikah dan alhamdulillah telah dikaruniai 2 orang putra. Sebelumnya saya juga mau ngasih tau bahwa saya selama ini adalah seorang perokok dan peminum kopi yang lumayan berat serta aktif olahraga badminton 2 kali seminggu.

Begini pak ustadz, awal bulan Nopember kemarin, saya merasakan keluhan seperti melayang dan rasa seperti pusing berat di kepala. Kemudian saya berobat ke dokter, dan dikasih obat dosis 3×1.

Pada waktu saya mau minum obat yang ketiga (masih pada hari pertama), begitu sholat isya’, dan setelah selesai sholat isya’ saya merasakan cemas untuk yang pertama kalinya.

Perasaan cemas ini begitu kuat. Yaitu, rasa cemas akan kematian. Takut merasa bahwa ajal sudah dekat.

Memang selama ini saya akui bahwa saya jarang beribadah terutama sholat. Masih banyak bolong sholatnya. Saya bingung pak ustadz karena rasa cemas ini masih ada dalam pikiran saya sampai sekarang. Kemudian sekitar bulan Februari tahun ini, saya sempat dirawat di rumah sakit kurang lebih 3 hari karena kata dokter saya sakit tipes.

Saya sering browsing mencari artikel mengenai keluhan dan sakit yang sering saya rasakan, seperti rasa seperti melayang tadi, rasa seperti menusuk di uluhati, rasa seperti pegal di tulang belikat.

Pikiran sayapun macam-macam, jangan-jangan saya kena jantung koroner, dan lain-lain. Perasaan cemas dan takut tadi semakin menjadi-jadi. Kalau rasa cemas tadi datang, saya merasa lemas, lesu, rasanya malas mau ngapa-ngapain, karena merasa takut bahwa ajal sudah dekat.

Saya sudah berobat ke dokter, diruqyah, tapi masih belum ada hasil. Saya benar-benar bingung dan takut akan rasa cemas ini.

Kedua, apakah ini berhubungan dengan belum tasyakurannya rumah yang baru saya tempati?

Saya mohon jawaban dan saran dari pak ustadz. Oh iya pak ustadz, sejak menderita keluhan ini, saya berhenti total merokok, minum kopi dan juga olahraga badminton. Sebelum dan sesudahnya, saya ucapkan banyak terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh

Saya coba menyimpulkan pertanyaan anda menjadi tiga buah :

Bagaimana menghilangkan perasaan cemas yang berlebihan ?

Semoga Allah swt senantiasa memberikan kesabaran kepada anda dalam menghadapi ujian ini, menjadikannya sebagai penghapus dosa dan kesalahan anda serta sarana untuk menaikkan derajat anda ke tingkat yang lebih tinggi.

Penyakit yang menimpa manusia ada dua macam :
1. Penyakit Fisik.
2. Penyakit Rohani.

Dalam menghadapi ujian penyakit tersebut diperlukan :
1. Keyakinan bahwa Allah swt selain menurunkan penyakit juga menurunkan obatnya, sebagaimana hadits Rasulullah saw : “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan juga obatnya.” (HR. Bukhori)
2. Keyakinan bahwa Allah lah yang menyembuhkannya sedangkan manusia hanya dituntut untuk berusaha mendapatkannya serta bertawakkal kepada-Nya. Firman Allah swt : “Dan apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy Syu’ara : 80)

Alhamdulillah sejak anda merasakan kecemasan, ketakutan yang berlebihan hingga kehilangan semangat hidup, anda telah berusaha melakukan pengobatan baik secara medis maupun dengan ruqyah walaupun penyakit itu masih tetap muncul dalam diri anda. Ibnu Qoyyim al Jauziyah mengatakan bahwa penyembuhan yang dilakukan Rasulullah saw terhadap suatu penyakit meliputi tiga macam :
1. Penyembuhan yang bersifat alami.
2. Penyembuhan yang bersifat ilahi.
3. Penyembuhan yang menggabungkan keduanya.
(Zaad al Ma’ad juz IV hal.24)

Perasaan cemas, gelisah dan takut yang berlebihan yang anda rasakan bisa disebabkan dua hal :

1. Efek dari kebiasaan anda sebelumnya sebagai peminum kopi yang lumayan berat. Saya pernah membaca suatu artikel bahwa efek dari kafein menjadikan para pencandunya menderita insomnia (tidur tidak nyenyak) dan memacu kecemasan. Pada akhirnya rasa cemas ini dapat memunculkan kegelisahan, sulit tidur serta jantung berdebar. Terlebih lagi anda juga sebelumnya sebagai seorang perokok yang lumayan berat. (Alhamdulillah anda telah berhenti merokok semoga ini menjadi awal yang baik untuk kesehatan anda).

Untuk itu hendaklah anda tetap melakukan pemeriksaan medis untuk memastikan apakah betul permasalahan yang ada dikarenakan prilaku anda yang lalu?!.

2. Efek dari kegersangan hati anda yang jarang disirami oleh dzikir-dzikir mengingat Allah melalui pemeliharaan terhadap sholat.. Firman Allah swt : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thoha : 14)

Untuk itu ada beberapa cara penyembuhan yang dikemukakan Ibnu Qoyyim yang bisa anda lakukan :

  1. Bertauhid Rububiyah (secara benar)
  2. Bertauhid Uluhiyah (secara benar)
  3. Meneguhkan keimanan / aqidah diatas dasar ilmu yang baik dan kuat.
  4. Meyakini bahwa Allah swt tidak pernah menzhalimi seorang hamba pun dan tidaklah Dia memberikan suatu (ujian / penyakit) kepada hamba-Nya tanpa sebab.
  5. Mengakui bahwa kezaliman ada pada diri manusia (bukan Allah swt)
  6. Bertawassul (dalam doa) dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, khususnya : Hayyun, Qoyyum.
  7. Meminta pertolongan hanya kepada Allah swt.
  8. Menguatkan pengharapan kepada-Nya.
  9. Menguatkan sifat tawakkal, penyerahan diri kepada-Nya serta meyakini bahwa ubun-ubun manusia didalam genggamannya dan Dia memperlakukan sekehendak-Nya, keputusan-Nya akan terus berjalan dan ketetapan-Nya pasti adil.
  10. Membahagiakan hati dengan senantiasa membaca Al Qur’an.
  11. Memperbanyak istighfar.
  12. Bertaubat.
  13. Berjihad
  14. Sholat..
  15. Menyandarkan daya dan upaya anda hanya kepada Allah swt.

(Zaad al Ma’ad juz IV hal.200 – 201)

Dengan cara-cara tersebut di atas, mudah-mudahan Allah swt menghilangkan apa yang anda keluhkan selama ini. Amin.

Apakah perasaan cemas tersebut dikarenakan tidak mengadakan tasyakuran rumah atau aqiqah ?

Perasaan cemas yang berlebihan tersebut tidak ada kaitannya dengan belum mengadakan tasyakuran rumah ataupun aqiqah sebagaimana penjelasan diatas. Kecuali jika memang fikiran itu terus-menerus menggelayuti fikiran sehingga berefek kepada perasaan-perasaan negatif diatas.

Tidak dibenarkan bagi seseorang mendahulukan sesuatu yang hanya tradisi bukan ibadah ketimbang hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan Allah swt. Tasyakuran hanyalah tradisi masyarakat sedangkan memberikan nafkah yang cukup kepada keluarga adalah kewajiban. Jangan sampai dalam kondisi anda sedang tidak mampu secara ekonomi namun anda tetap memaksakan diri untuk mengadakan tasyakuran karena mungkin akan berefek kepada tidak terpenuhi kebutuhan harian keluarga anda.

Bagaimana dengan waktu aqiqah untuk kedua putra saya ?

Adapun aqiqah merupakan sunnah Rasulullah saw terhadap bayi yang baru dilahirkan dengan menyembelih 2 ekor kambing jika bayinya laki-laki dan 1 ekor jika dia perempuan sebagaimana hadits Rasulullah saw : “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang memenuhi persyaratan sedangkan anak perempuan satu ekor kambing.”(HR. Tirmidzi)

Hari penyelenggaraan aqiqah adalah pada hari ketujuh sejak kelahiran apabila dimungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka pada hari keempat belas. Jika tidak memungkinkan juga maka pada hari keduapuluh satu sejak kelahirannya. Dan jika tidak mungkin juga, maka dihari manapun. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, “Aqiqiah disembelih pada hari ketujuh atau pada hari keempat belas atau pada hari keduapuluh satu.” (Fiqh as-Sunnah, edisi terjemahan jilid IV hal 300)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo Lc-

Pemberian Sedekah Lebih Diutamakan Kepada Kalangan Dhuafa dari Keluarga dan Kerabat

$
0
0

sigitAssalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, dalam waktu dekat ini adik saya akan melangsungkan pernikahan. Untuk itu, keluarga kami telah bersepakat mengeluarkan shodaqoh kepada kaum dhuafa yang ada di sekitar rumah kami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt.

Yang menjadi pertanyaan kami pak ustadz :
1. Bagaimana menurut ustadz seandainya sebagian dari shodaqoh yang kami rencanakan untuk kaum dhuafa di sekitar rumah kami itu kami berikan kepada saudara-saudara (kerabat) kami yang juga dhuafa?
2. Adakah batas maksimum dari shodaqoh yang dikeluarkan?

Jazakumullah ustadz atas jawabannya.

Wa Alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh

Saudara Hardi yang dimuliakan Allah swt. Semoga Allah swt memberkahi pernikahan adik anda nanti dan menjadikan keluarga yang kelak akan dibangunnya senantiasa mendapat lindungan dan arahan dari Allah swt.

Adapun pendapat saya terhadap beberapa permasalahan yang sedang anda hadapi, sebagai berikut :
1. Shodaqoh yang anda maksudkan termasuk dalam kategori shodaqoh-shodaqoh yang disunnahkan. Tujuan dari shodaqoh adalah membantu orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan mendesak serta meringankan beban oang-orang yang kesulitan secara finansial, sebagaimana hadits Rasulullah saw : “Setiap muslim harus bershodaqoh. Mereka bertanya,’Wahai Nabi Allah bagaimana dengan orang yang tidak punya?’ Rasulullah saw bersabda : ‘Hendaklah ia berusaha dengan tangannya sehingga dapat menguntungkan dirinya lalu ia bershodaqoh.’ Mereka bertanya lagi :’Jika tidak ada? Rasulullah saw bersabda,’Hendaklah ia membantu orang yang memiliki kebutuhan yang mendesak serta mengharapkan bantuan.’ Mereka bertanya, “Jika tidak ada?” Rasulullah menjawab, ’Hendaklah ia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kemunkaran. Sesungguhnya hal ini adalah shodaqoh.” (HR. Bukhori).

Dari hadits ini, bisa difahami bahwa shodaqoh bisa diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan untuk meringankan kesulitan-kesulitannya. Namun demikian, yang lebih utama adalah shodaqoh tersebut diberikan kepada keluarga, kaum kerabat kemudian tetangga sekitar, berdasarkan firman Allah swt : “Kepada anak yatim yang mempunyai hubungan kerabat. “ (QS. Al Balad : 15) serta hadits Rasulullah saw : “Jika salah seorang diantaramu miskin, hendaklah dimulai dengan dirinya, jika ada kelebihan maka untuk keluarganya, jika ada kelebihan lagi untuk kerabatnya.” Atau beliau bersabda : “Untuk yang ada hubungan kekeluargaan dengannya. Kemudian apabila masih ada barulah untuk ini dan itu.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dari uraian di atas, jelas bahwa shodaqoh anda kepada orang-orang dhuafa dari kalangan keluarga anda diperbolehkan menurut syari’ah bahkan diutamakan.

2. Tidak ada batas maksimum dari shodaqoh yang dikeluarkan seseorang bahkan dibolehkan bagi seseorang menshodaqohkan seluruh hartanya jika memang ia termasuk orang yang mampu untuk itu, mampu mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bersabar setelah melakukannya seperti dijelaskan dalam hadits berikut.

“Umar berkata : “Rasulullah saw menyuruh kami agar bershodaqoh, kebetulan pada waktu itu aku memiliki harta maka aku berkata (dalam hati) : “Hari ini aku dapat mengungguli Abu Bakar karena tak pernah sekali pun aku mengunggulinya. Maka aku pun datang dengan membawa separuh hartaku.’ Rasulullah saw pun bertanya,’Berapa banyak yang engkau tinggalkan untuk keluargamu.’ Aku mengatakan,’Sebanyak itu pula.’ Dia (Umar) berkata,’Datanglah Abu Bakar dengan seluruh hartanya dan Rasul pun bertanya,’Apa yang engkau tinggalkan bagi mereka?” Abu Bakar berkata, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Aku berkata : “Tidak akan pernah aku dapat mengunggulimu selama-lamnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Namun demikian, bagi kita yang kebanyakan kaum muslimin saat ini memiliki kualitas keimanan, kesabaran dan ketawakalannya tidaklah seberapa dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar, maka yang terbaik adalah tengah-tengah dalam bershodaqoh. Artinya, tidak terlalu sedikit karena ini berarti kikir dan tidak pula berlebih-lebihan yang jika tidak didukung dengan kesiapan dirinya akan berefek pada hal-hal yang negatif, sebagaimana firman Allah swt: “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir’ diantara keduanya secara wajar.” (QS. AL Furqon : 67)

Demikianlah semoga Allah memberkahi harta keluarga anda dan menggantikannya dengan yang lebih baik dan diberkahi lagi oleh Allah swt.

-Ustadz Sigit Pranowo Lc-

Apa Bunuh Diri Itu Juga Takdir Allah ?

$
0
0

sigitAssalamualaikum ustadz,

Pa Ustadz yang dirahmati Alloh, mohon penjelasan beberapa pertanyaan berikut ini ;

1- Apakah makna Takdir dan Nasib sama?

2- Apakah bunuh diri, meninggal dalam kecelakaan, dan meninggal saat Jihad termasuk kedalam Takdir Alloh swt ??

Demikian beberapa pertanyaan saya mohon pa ustadz memberi penjelasan berikut dengan Dalil dan Nash Ql-Qur’an dan Sunnah, terima kasih

Wasalam

Waalikumussalam Wr Wb

Takdir dan Nasib

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasib diartikan dengan sesuatu yang ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang; misalnya, nasib membawanya terhempas di Jakarta. Nasib baik (nasib mujur) adalah keberuntungan, misalnya ; ia selalu memperoleh nasib baik di usahanya. Nasib buruk adalah kemalangan, misalnya; nasib buruk telah menimpa keluarganya.

Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti al hazzhu min kulli syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah anshiba dan anshibah. Dari aspek majaz : jika disebutkan lii nashiibun minhu artinya kami mempunyai bagian tertentu pada asalnya. An nashib juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah tertentu di bumi sebagaimana disebutkan al Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974, Maktabah Syamilah)

Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.

Sedangkan takdir berasal dari kata al qodr yang menurut syariat adalah bahwasanya Allah swt mengetahui ukuran-ukuran dan waktu-waktunya sejak azali kemudian Dia swt mewujudkannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia swt juga menetapkannya di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannnya, sebagaimana disebutkan didalam hadits, ”Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena. Dia swt mengatakan kepadanya, ’Tulislah.’ Pena itu mengatakan, ’Apa yang aku tulis?’ Dia swt mengatakan, ’Tulislah segala sesuatu yang akan terjadi.” (Syarhul aqidah al wasathiyah juz I hal 32, Maktabah Syamilah)

Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini—tidak hanya pada manusia—baik pada mahkluk hidup maupun benda mati, yang bergerak maupun yang diam, yang kecil maupun yang besar, yang ghaib maupun yang nyata kecuali sudah ditetapkan dan dituliskan oleh Allah swt di Lauh Mahfuzh.

Tidak satu pun daun yang rontok dari dahannya, semut yang mati di atas batu hitam, benda langit yang hilang, kerikil yang berpindah tempatnya, jumlah bayi yang terlahir dan meninggal setiap detiknya kecuali itu semua berada dalam ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt.

Adapun takdir yang terkait dengan kehidupan manusia sebagaimana disebutkan didalam sabda Rasulullah saw,”..kemudian dia bertanya lagi, ’Beritahukan kepadaku tentang Iman.’ Nabi saw menjawab, ’Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan buruk.” (HR. Muslim)

Artinya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia baik perbuatan maupun perkataannya, kesenangan maupun kesusahannya, sehat maupun sakitnya, rezeki maupun musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup maupun matinya, yang seluruhnya adalah bagian dari kehidupannya kecuali sudah diketahui dan ditetapkan Allah swt serta sesuai dengan kehendak dan ciptaan-Nya.

Firman Allah swt,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾

”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)

Dari definisi tentang nasib dan takdir diatas, maka bisa disimpulkan bahwa nasib pada umumnya digunakan untuk bagian yang diterima manusia baik berupa kebaikan atau keburukan, kesenangan atau kesusahan. Sedangkan takdir tidak hanya mencakup hal-hal yang terjadi pada manusia namun ia juga yang terjadi pada seluruh makhluk lainnya di alam ini sejak zaman azali dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Sehingga nasib adalah bagian dari takdir.

Apakah Bunuh Diri, Kecelakaan Takdir Allah Swt

Sebagaimana disebutkan diatas tentang definisi dari takdir yang mencakup ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt. Maka segala perbuatan dan perkataan manusia tidaklah lepas dari keempat hal tersebut.

Namun jangan kemudian diartikan bahwa ketika seseorang memukul orang lain, gagal dalam ujian, menjadi penjahat, berbuat maksiat atau bunuh diri kemudian dengan mudah mengatakan bahwa itu semua adalah takdir Allah swt atas dirinya. Ini tidaklah betul berdasarkan dalil-dalil berikut :

1. Allah swt berfirman,

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلكِن يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾

”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)

Makna al hidayah didalam Al Qur’an mengandung pengertian ad dalalah (menunjukan) dan al i’anah (pertolongan). Ad dalalah (menunjukan) ini adalah bagi semua orang baik mukmin maupun kafir karena Allah swt menunjukkan semua orang dengan manhaj-Nya, mengutus Rasul-Nya yang membawa kitab-Nya namun karena kecongkakan dan kesombongannya maka mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, sebagaimana firman-Nya,

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿١٧﴾

”Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fushilat : 17}

Sedangkan al ‘ianah (pertolongan) dan dorongan untuk melakukan kebaikan adalah khusus buat orang yang beriman kepada Allah, mengikuti Rasul-Nya dan menjalankan isi kitab-Nya maka mereka mendapatkan petunjuk dari-Nya,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ ﴿١٧﴾

”Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17)

2. Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat. Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦﴾

”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)

3. Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.

4. Setiap orang yang bertakwa maupun tidak bertakwa mempunyai kemampuan ikhtiar dan kebebasan ikhtiar. Allah swt memberikan mereka akal untuk bisa membedakan mana yang baik maupun buruk bagi dirinya. Kemudian manusia pun diberikan kebebasan berikhtiar manakah jalan yang dipilihnya; jalan yang baik atau yang buruk, ketaatan atau kemaksiatan dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku tuntutan pertanggung-jawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan dengan pahala atau siksa.

Diantara bukti kebebasan ikhtiar ini adalah perasaan ingin bebas melaksanakan shalat atau meninggalkannya, membayar zakat atau tidak. Firman Allah swt,

فَأَمَّا مَن طَغَى ﴿٣٧﴾ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿٣٨﴾ فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٣٩﴾ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٤١﴾

”Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’aat : 37 – 41)

Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak akan disiksa terhadap sesuatu yang dia tidak memiliki pilihan didalamnya, seperti lupa, dipaksa atau keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) (Disarikan dari buku Jawaban Tuntas Masalah Taqdir, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan)

Jadi ketika seorang bunuh diri, meninggal karena suatu kecelakaan atau jihad di jalan Allah maka segala yang tekait dengan perbuatannya itu sudah diketahui Allah swt dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh namun pengetahuan Allah swt ini hanya bersifat inkisyaf (menyingkap) dan ilmu-Nya tidaklah bersifat ijbari (memaksa) dan tatsir (mempengaruhi).

Bukti dari keadilan Allah kepadanya adalah dengan diberikannya akal untuk mampu mempertimbangkan segala efek dari bunuh dirinya itu atau berjihad dijalan Allah baik dari sudut pandang agama maupun yang lainnya. Setelah itu ia diberikan kebebasan menentukan pilihannya apakah dia meneruskan niatnya dengan menusukkan pisau ke perutnya sendiri, menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun padahal kondisi tidaklah memaksa mujahid itu untuk melakukannya ataukah dia mengurungkan niatnya tersebut, bersabar dan mencari solusi yang diridhoi Allah swt.

Apabila dia mengambil pilihan untuk menusukan pisau ke perutnya sendiri, meyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun sehingga dia meninggal dunia dan ketika perbuatan itu terjadi maka ia bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.

Dan terhadap sesuatu yang dimana manusia tidak memiliki pilihan atasnya maka dia tidaklah berdosa, seperti ketika seseorang yang tengah mengendarai sebuah mobil secara wajar di sebuah dataran tinggi namun secara tiba-tiba jalan yang dilaluinya longsor dan ia pun terhempas ke jurang dan meninggal dunia.

Kalaulah masih ada yang mengatakan bahwa bunuh diri dengan pisau atau mati dengan cara menyerang pasukan musuh sendirian adalah takdir Allah semata maka bagaimana pendapatnya jika datang seseorang mendekatinya dan menampar pipinya kemudian orang yang menampar itu dengan mudah mengatakan kepadanya,”maaf itu semua adalah takdir Allah.” maka apakah ia akan menerimanya?!!

Atau bagaimana pendapatnya jika orang itu diminta untuk setiap harinya menetap di rumah saja, menutup pintu, tidak usah bekerja dan berusaha hanya menanti rezeki yang datang ke rumah maka bisakah anak istrinya kenyang, terpenuhi kebutuhan sandang pangannya?!!

Atau seandainya dia seorang pemuda dewasa yang belum memiliki keahlian kerja sama sekali sementara dia butuh pekerjaan maka apakah dia akan berpangku tangan, berdiam diri dan tidak berusaha keras menajamkan keahliannya sampai pekerjaan yang diinginkannya datang menjemputnya?!!

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Benarkan Wahabi dan Salafy Suka Mengkafirkan Ulama ?

$
0
0

sigitAssalamualaikum Wr. Wb.

Saya membaca di beberapa situs internet mengenai aliran Wahabi, ternyata aliran wahabi ini telah mengkafirkan beberapa ulama seperti Imam Bukhari, Imam Namawi, Ibnu Hajar, sahabat Rasulullah, bahkan Nabi Adam dan Siti Hawa pun mereka kafirkan.

Kemudian, statemen mereka: siapapun yg menolak wahabi berarti menolak Islam. Mereka mempunyai kitab Fiqih sendiri dan berbeda dengan fiqih dari 4 madzhab. Tolong dijelaskan Pa Ustadz. Terima kasih sebelumnya, semoga membawa kebaikan. Amien

Wassalamuaikum Wr. Wb.

Wa Alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh

Saudara Usep yang dimuliakan Allah swt.

Memang Allah swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya manakala mendapatkan informasi atau berita yang tidak jelas/diragukan kebenarannya hendaklah melakukan pemeriksaan secara seksama sebelum diambilnya sebagai suatu pemikiran / keyakinan.

Firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. 49 : 6)

Da’wah Salafiyah adalah pelopor gerakan-gerakan ishlah (reformasi) yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan pemikiran di dunia islam. Da’wah salafiyah ini menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada asalnya yang murni, dan menekankan pada pemurnian arti tauhid dari sirik dengan segala manifestasinya. Sebagian orang ada yang menyebut da’wah ini dengan Wahabi, karena dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab (1115 – 1206 H / 1703 – 1791 M).

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ulama yang sangat tegas dan lantang dalam menyerukan tauhid. Ia seorang ulama yang karismatik dan disegani sehingga mampu menda’wahi para penguasa untuk kemudian bekerja sama menghancurkan berbagai kemusyrikan yang ada di masyarakat, seperti dengan penguasa Uyainah yang bernama Utsman bin Muammar atau dengan Pangeran Muhammad bin Su’ud sebagai pengusa Dir’iyah yang kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Pangeran Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud hingga Syeikh meninggal dunia.

Di antara prinsip-prinsip Da’wah Salafiyah :

  1. Pendiri da’wah ini, dalam studi-studinya adalah bermadzhab Hambali.
  2. Menekankan untuk senantiasa merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dalam permasalahan aqidah.
  3. Berpegang teguh dengan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
  4. Menyerukan kepada pemurnian arti tauhid.
  5. Menetapkan tauhid asma dan sifat-sifat Allah tanpa tamtsil (perumpamaan), takyif (pencocokan) dan ta’wail (interpretasi).
  6. Menentang segala bentuk bid’ah dan khurafat.
  7. Menentang segala bentuk ungkapan, petualangan tarekat sufistik yang dimasukan kedalam agama yang tak pernah ada sebelumnya.
  8. Melarang berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu, berdasarkan firman Allah : “(Mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)
  9. Segala bentuk yang didiamkan oleh hukum syara’ adalah dimaafkan. Tak ada seorangpun yang berhak mengharamkan, mewajibkan atau memakruhkan berdasarkan firman Allah, “Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu, dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, nisacaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah : 101

(Disarikan dari buku, al Mausu’atul Muyassaroh Fil Adyaan Wal Madzahibil Muaashiroh, WAMY, edisi terjemahan, hal. 227 – 232)

Sebagai da’wah yang memegang teguh prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka Da’wah Salafiyah tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali apabila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya, sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (muslim) : Wahai kafir, maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar dalam pengkafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya” [HR Al-Bukhari)

Jadi prinsip Da’wah Salafiyah terhadap orang islam secara umum—walau ia melakukan dosa besar sekalipun—adalah tetap menganggap menghargai keislaman mereka apalagi terhadap orang-orang mulia yang anda sebutkan di atas.

Mereka adalah para ulama dan imam besar umat ini yang karya-karyanya justru dijadikan sebagai rujukan dan referensi oleh orang-orang salafi. Imam Bukhori dengan karyanya, “Shohihul Bukhori”. Imam Nawawi dengan karyanya, “Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi”. Ibnu Hajar dengan karya terbesarnya,”Fathul Bari Syarh Shohihil Bukhori”

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Pada Saat Apa Harus Mandi Wajib?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr.Wb.

Pak Ustadz, saya ingin menanyakan dua hal dan berharap ustadz berkenan menjawabnya. Pertama, seandainya seorang istri dalam keada’an junub setelah bersetubuh dengan suami lalu belum sempat mandi jinabat, kemudian haid datang. Bagaimana mandi jinabatnya?  Apakah mandinya bisa dilakukan bersama’an dengan mandi sesudah suci haid nantinya?

Yang kedua, jika sudah terlanjur bernadzar mutlak, misalnya saya akan puasa keesokan harinya jika… Nah, nadzar yang berlaku terus seperti itu bisakah dibatalkan? Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban ustadz, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Wassalamualaikum Wr Wb

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Mandi Karena Junub Bersamaan dengan Mandi Karena Haid

Ada enam hal yang mewajibkan seseorang untuk melakukan mandi wajib. Tiga hal ada pada kaum pria dan wanita sedangkan tiga hal lainnya khusus pada kaum wanita.

3 (Tiga) hal yang ada pada kaum pria dan wanita adalah :

1. Pertemuan dua kemaluan antara laki-laki dan perempuan (jima’)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seseorang duduk diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya; diantara dua tangan dan dua kakinya kemudian menyetubuhinya maka wajib baginya mandi, baik mani itu keluar atau tidak.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua kemaluan telah bertemu maka wajib baginya mandi. Aku dan Rasulullah saw pernah melakukannya maka kami pun mandi.” (HR. Ibnu Majah)

2. Keluarnya mani.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Mandi diwajibkan dikarenakan keluar air mani.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim berkata,’Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu tentang masalah kebenaran, apakah wanita wajib mandi apabila dia bermimpi? Nabi saw menjawab,’Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)

Dalam hal keluarnya air mani, Sayyid Sabiq mengatakan :
a. Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak wajib mandi.
b. Jika seseorang bermimpi namun tidak mendapatkan air mani maka tidak wajib baginya mandi, demikian dikatakan Ibnul Mundzir.

c. Jika seseorang dalam keadaan sadar (tidak tidur) dan mendapatkan mani namun ia tidak ingat akan mimpinya, jika dia menyakini bahwa itu adalah mani maka wajib baginya mandi dikarenakan secara zhohir bahwa air mani itu telah keluar walaupun ia lupa mimpinya. Akan tetapi jika ia ragu-ragu dan tidak mengetahui apakah air itu mani atau bukan, maka ia juga wajib mandi demi kehati-hatian.

d. Jika seseorang merasakan akan keluar mani saat memuncaknya syahwat namun dia tahan kemaluannya sehingga air mani itu tidak keluar maka tidak wajib baginya mandi.

e. Jika seseorang melihat mani pada kainnya namun tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah melaksanakan shalat maka ia wajib mengulang shalatnya dari waktu tidurnya terakhir.. (Fiqhus Sunnah juz I hal 64 – 66)

3. Kematian.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda dalam keadaan berihram terhadap seorang yang meninggal terpelanting oleh ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun bidara.” (HR.Bukhori Muslim)

Sedangkan 3 (tiga) lainnya yang khusus pada kaum wanita adalah :

1. Haid.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqoroh : 222)

Sabda Rasulullah saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy ra adalah,”Tinggalkan shalat selama hari-hari engkau mendapatkan haid, lalu mandilah dan shalatlah.” (Muttafaq Alaih)

2. Nifas.
Nifas adalah seperti haidh dan mewajibkannya mandi, demikian menurut jumhur ulama.

3. Melahirkan.
Jika seorang melahirkan dan tidak mengeluarkan darah maka terjadi perbedaan pendapat apakah wajib baginya mandi atau tidak. Namun Syeikh Taqiyuddin asy Syafi’i, pemilik buku “Kifayatul Akhyar” mewajibkannya mandi.

Adapun terkait dengan pertanyaan anda, seandainya seorang istri dalam keada’an junub setelah bersetubuh dengan suaminya lalu ia mendapatkan haid sementara dia belum sempat mandi jinabat, maka :

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Apabila dua hal yang mewajibkan mandi bersatu seperti haid dengan junub atau pertemuan dua kemaluan dengan keluarnya mani lalu ia berniat keduanya dengan satu kali mandi saja maka itu dibolehkan, demikian pendapat kebanyakan ulama, diantaranya Atho, Abuz Zanad, Robi’ah, Malik, Syafi’i, Ishaq dan para pemikir.

Diriwayatkan dari al Hasan dan an Nakh’i dalam pemasalahan haid dan junub ini berpendapat hendaklah dua kali mandi. Namun bagi kami, bahwa “Nabi saw tidaklah mandi dari selesai jima (bersetubuh) kecuali satu kali mandi.”. Ada dua hal yang dikandung didalam hadits ini, yaitu : bisa jadi beliau saw di banyak keadaan dari jima’nya mengeluarkan mani—selain dari pertemuan dua kemaluan, pen—dan dikarenakan keduanya mewajibkannya mandi maka boleh dengan sekali mandi untuk keduanya, seperti hadats dan najis…

Jika orang itu berniat salah satunya saja atau berniat terhadap haid saja tanpa junub maka apakah niat itu sah pula buat yang lainnya? Didalam permasalajam ini terdapat dua pendapat :

1. Niat itu sah pula bagi yang lainnya, dikarenakan mandinya itu adalah mandi yang benar yang diniatkan untuk mandi wajib, maka hal itu dibolehkan…

2. Niat itu hanya sah untuk apa yang dia niatkan dan tidak untuk yang tidak dia niatkan, berdasarkan sabda Nabi saw,” Sesungguhnya amal perbuatan tergantung dari apa yang diniatkannya.” (al Mughni juz I hal 372)

Jadi dibolehkan bagi seorang yang mendapatkan haid saat dia junub untuk mengakhirkan mandi wajibnya hingga selesai haidnya dengan syarat meniatkan mandinya itu untuk junub dan haid.

Membatalkan Nazar

Nazar adalah mengharuskan suatu ibadah yang pada dasarnya menurut syariat tidaklah wajib dengan lafazh yang menunjukkan hal itu, seperti seorang yang mengatakan,”Demi Allah aku harus mensedekahkan uang dengan jumlah sekian,” atau,”Apabila Allah menyembuhkan penyakitku maka wajib bagiku untuk berpuasa tiga hari.” Atau lafazh-lafazh yang seperti itu. (Fiqhus Sunnah juz III hal 33)

Sedangkan rukun-rukun nazar adalah :
1. Orang yang berzanar.
Ia haruslah seorang yang muslim, baligh, berakal, mampu memilih atau tidak dalam paksaan.

2. Sesuatu yang dinazarkan; ada dua macam :
a. Ada yang samar (tidak jelas); seperti orang yang mengatakan,”Demi Allah aku bernazar.”

b. Ada yang jelas (4 macam); untuk mendekatkan diri kepada Allah, maksiat, hal-hal yang dimakruhkan atau hal-hal yang mubah (dibolehkan).

3. Lafazh; ada dua macam :
a. Lafazh yang bersifat mutlak, yaitu yang diucapkan seseorang sebagai bentuk syukur kepada Allah swt atas suatu nikmat kepadanya tanpa adanya suatu sebab, seperti,”Demi Allah wajib atasku berpuasa ini atau melaksanakan shalat ini.” menurut para ulama madzhab Maliki hal ini adalah mustahab (disukai) dan wajib untuk dipenuhi.

b. Lafazh yang bersifat mengikat, yaitu yang berkaitan dengan suatu persyaratan, seperti perkataan seseorang,”Jika datang fulan atau Allah menyembuhkan penyakitku maka aku harus melakukan ini.” Hukumnya adalah wajib untuk ditunaikan apabila persyaratan itu telah terwujud. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2552 – 2553)

Adapun ungkapan anda ,”Saya akan puasa keesokan harinya jika…” pada asalnya ketika persyaratan yang disebutkan didalam nazar itu terwujud maka wajib bagi anda untuk menunaikan nazarnya (puasa), sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, maka ia wajib menaati-Nya dan barangsiapa yang bernazar untuk maksiat terhadap Allah maka ia tidak boleh maksiat terhadap-Nya.” (HR. Bukhori, Ahmad)

Namun hal demikian menjadi berat ketika ternyata persyaratan tersebut terjadi berulang-ulang sehingga anda harus terus berpuasa pada keesokan harinya, seperti orang yang mengatakan,”Saya akan besedekah dengan uang Rp. 10.000,00 jika saya ghibah terhadap orang lain (membicarakan aib orang lain).” Dalam perjalanannya, orang ini sulit sekali menghindarkan dirinya dari perbuatan ghibah sehingga ia merasa berat untuk terus menerus berinfak.

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

Artinya : “Mereka menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insaan : 7)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,”Firman Allah swt,’Mereka menunaikan nazar.’ menunjukkan bahwa menunaikannya merupakan suatu ibadah dan adanya pujian kepada pelakunya, namun ini dikhususkan untuk nazar ketaatan kepada Allah.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari dari jalan Mujahid bahwa dia berkata tentang firman-Nya,”Mereka menunaikan nazar.” Yaitu ,’Apabila mereka bernazar dalam ketaatan kepada Allah.’

Al Qurthubi mengatakan, “Nazar merupakan bagian dari janji-janji yang diperintahkan untuk ditunaikan dan pujian bagi pelakunya. Jenis yang paling tinggi adalah nazar yang tidak dikaitkan dengan sesuatu, seperti orang yang disembuhkan dari penyakitnya dan megatakan,”Demi Allah wajib bagiku untuk berpuasa ini atau bersedekah dengan ini sebagai rasa syukur kepada Allah.” Yang berikutnya adalah dikaitkan dengan perbuatan taat seperti,”Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa atau sholat ini.”

Adapun selain dari kedua jenis tersebut, yaitu nazar lujaj seperti orang yang merasa berat dengan hambanya lalu bernazar akan membebaskannya agar ia terlepas dari kebersamaan dengannya dan ia tidak memaksudkan nazarnya itu untuk ibadah, atau orang yang membebankan atas dirinya dengan bernazar untuk banyak melakukan shalat atau puasa yang berat untuk dilakukan. Hal seperti ini jika dilakukan dapat membawa mudharat baginya maka ini adalah makruh bahkan sebagiannya mengarah kepada pengharaman. (Fathul Bari juz XI hal 656 – 657)

Seorang yang bernazar dengan nazar lujaj dan dia memiliki kesanggupan maka wajib baginya untuk menunaikannya ketika persyaratan itu terwujud walaupun itu terjadi secara terus menerus namun ketika dia tidak menyanggupinya maka wajib baginya untuk membayar kafarat dengan kafarat sumpah, yaitu : memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan budak. Dan jika itu semua tidak disanggupinya maka wajib baginya berpuasa selama tiga hari.

Hal itu seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi tentang hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Nabi saw bersabda,”Kafarat nazar adalah kafarat sumpah.” (HR. Muslim), beliau mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dengan maksud hadits ini:

Jumhur ulama kami (Madzhab Syafi’i) berpendapat bahwa ini adalah terhadap nazar lujaj yaitu jika seorang mengatakan bahwa dia ingin mencegah untuk berbicara dengan Zaid, seperti; jika aku berbicara dengan Zaid maka demi Allah wajib bagiku pergi haji atau selainnya, kemudian orang itu berbicara dengannya, maka dia dibolehkan memilih antara kafarat sumpah atau menunaikannya, ini pendapat yang benar dalam madzhab kami.

Imam Malik dan banyak ulama lainnya berpendapat bahwa hadits ini adalah terhadap nazar yang mutlak (tanpa syarat), seperti perkataan seseorang,”Wajib bagiku nazar.” Sementara sebagian ulama kami (madzhab syafi’i) berpendapat bahwa hadits ini adalah terhadap nazar maksiat, seperti; orang yang bernazar untuk meminum khomr. Sekelompok ulama hadits berpendapat bahwa hadits itu adalah untuk semua jenis nazar dan mereka mengatakan,”Orang itu boleh memilih diseluruh nazarnya antara menunaikan apa yang telah dia komitmenkan itu atau kafarat sumpah.” (Shohi Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 149)

Dan jika anda meniatkan dari ucapan itu adalah pengulangan (terus menerus) maka setiap kali persyaratan itu terwujud wajib bagi anda untuk menunaikan puasa keesokan harinya kecuali jika anda tidak saggaup untuk berpuasa keesokan harinya maka anda bisa menggantinya dengan kafarat sumpah dan tidak ada ruang untuk membatalkannya.

Adapun jika anda tidak berniat pengulangan (terus menerus) dan hanya sekedar berkata,”Saya akan berpuasa keesokan harinya jika….” maka wajib bagi anda kafarat sumpah atau menunaikan nazar pada kali pertama saja. Adapun setelah kali pertama itu maka wajib bagi anda untuk bertaubat dengan memenuhi persyaratan-persyaratan taubat itu.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Cara Bertaubat Nasuha

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.,

Apa yang dimaksud dengan taubat nasuha? Bagaimana cara melakukannya?

Terima kasih,

Assalamu’alaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr. Wb

Sesungguhnya tidak satu manusia pun di alam ini yang terbebas dari dosa walaupun kecil. Namun demikian Allah swt dengan rahmatnya kepada hamba-hamba-Nya selalu memberikan kepada mereka yang berbuat dosa kesempatan untuk bertaubat dari segala dosa dan kesalahan. Allah selalu membukakan pintu taubat-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat selama ruhnya belum berada di kerongkongan atau matahari terbit dari barat.

Taubat dari dosa menurut Al Ghozali adalah kembali kepada Sang Maha Penutup aib dan Yang Maha Mengetahui yang ghaib (Allah swt). Ia merupakan awal perjalan orang-orang yang berjalan, modal orang-orng sukses, langkah awal para pencinta kebaikan, kunci istiqomah orang-orang yang cenderung kepada-Nya, awal pemilihan dari orang-orang yang mendekatkan dirinya, seperti bapak kita Adam as dan seluruh para Nabi.(Ihya Ulumuddin juz IV hal 3)

Tentunya taubat seorang yang berdosa hendaklah dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh bukan bertaubat kemudian dengan mudahnya dia mengulangi lagi perbuatan maksiatnya. Inilah yang disebut dengan Taubat Nashuha artinya taubat yang sebenar-benarnya, murni dan tulus, sebagaimana firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Tahrim : 8)

Dosa yang dilakukan seorang manusia baik yang terkait dengan Allah swt, seperti : tidak menjalankan perintah-perintah-Nya ataupun dosa yang terkait dengan manusia lainnya, seperti : mencuri harta bendanya dan lainnya, menuntutnya untuk melakukan taubat agar Allah swt memberikan ampunan kepadanya dan manusia yang dizhalimi tersebut memberikan pemaafan kepadanya.
Cara-cara melakukan taubat nashuha :

1. Meninggalkan kemaksiataan yang dilakukannya.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya.
4. Jika terkait dengan hak-hak orang lain maka hendaklah ia mengembalikannya kepada yang memilikinya.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Apakah Cincin Kawin itu Syar’i ?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Langsung saja pada inti pertanyaannya, apakah ada dasar hukummnya dalam Syariat Islam seorang suami memakai Cincin Kawin? Apakah Cincin Kawin (Tukar Cincin seteleh ijab-Qobul) itu juga Syariat Islam?

Terimakasih dan Wassalamu’alaikum wr. wb.

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Saudara Hamdu yang dimuliakan Allah swt.

Pernikahan didalam islam adalah ibadah dan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya maka ia haruslah memenuhi dua rukunnya. Pertama : Ikhlas semata-mata karena Allah swt. Kedua : Mengikuti sunah Rasulullah saw. Dua hal inilah yang dimaksud dengan amal yang terbaik didalam firman Allah swt,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ﴿٢﴾

”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al Mulk : 2)

Rasulullah saw meminta kepada setiap umatnya untuk mengambil segala sesuatu yang berasal darinya didalam setiap ibadahnya sebagai bukti kecintaan mereka terhadapnya saw. Siapa saja dari umatnya yang mencintai beliau saw maka dia kelak bersama Rasulullah saw di surga.

Ketika seorang muslim tidak mengambil sunnahnya dan justru mengambil cara-cara yang bukan berasal darinya, baik secara sadar atau tidak sadar maka dia telah menganggap apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya tidaklah lebih baik darinya. Firman Allah swt,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?(QS. Al Maidah : 50)

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ra bahwasanya ada beberapa orang dari sahabat mendatangi Nabi saw sebagian mereka mengatakan,”Aku tidak akan menikahi wanita.’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan makan daging.’ Dan sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan tidur diatas tikar.’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku akan puasa dan tidak berbuka.’ Maka berita itu sampai ke Rasulullah saw kemudian bersabda,’Celakalah kaum yang mengatakan ini dan itu, sesungguhnya aku mengerjakan shalat, aku berpuasa dan berbuka dan aku menikahi para wanita. Dan barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhori Muslim)

Adapun mengenai cincin perkawinan yang sudah menjadi kebiasaan bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang mendasar didalam suatu acara tunangan atau pernikahan maka sesungguhnya bukanlah berasal dari islam.

Penggunaan cincin didalam acara perkawainan ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu yang merupakan tradisi didalam agama Yunani dan Romawi kuno yang dianggap sebagai simbol cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cincin ini kemudian diadopsi dan dikembangkan di eropa (barat) dari mulai model hingga bahan pembuatannya.

Oleh orang-orang Eropa cincin ini pernah dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk lainnya seperti kunci dan piramida. Adapun bahan pembuatannya juga mengalami perkembangan dari sekedar lempeng besi menjadi kuningan dan perunggu. Sedangkan para bangsawan dan raja-raja di Eropa menggunakan berlian sebagai bahan pembuatan cincin. Dan akhirnya yang berkembang dan menyebar di masyarakat dunia pada umumnya adalah cincin yang terbuat dari emas atau platinum.

Ada yang mengatakan bahwa pengenaan cincin perkawinan di jari manis adalah kebiasaan orang-orang Cina dengan keyakinan bahwa ibu jari adalah sebagai simbol orang tua, telunjuk adalah simbol kakak dan adik, kelingking adalah simbol anak-anak sedang jari manis adalah simbol suami istri yang akan selalu bersatu selama hidup.

Kesimpulan ini mereka ambil dengan cara yang sangat sederhana yaitu, apabila kedua telapak tangan seseorang dibuka dan jari-jemari yang ada ditangan kanan disentuhkan dengan jari-jemari yang ada di tangan kiri (ibu jari bertemu dengan ibu jari, telunjuk bertemu dengan telunjuk begitu seterusnya kecuali kedua jari tengah yang dilipat bersentuhan) dan jika jari-jemari itu satu-persatu diangkat dan ditutup kembali maka semua jari bisa melakukannya kecuali jari manis.

Nah.. semua jari yang bisa diangkat dan ditutup kembali itu diartikan sebagai simbol untuk orang-orang sekelilingnya yang akan pergi sedangkan jari yang tidak bisa diangkat (jari manis) adalah simbol untuk suami istri yang akan langgeng selamanya.

Jadi penggunaan cincin didalam suatu acara perkawinan bukanlah berasal dari islam. Dan Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Islam memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan agama dan budaya selainnya. Karakteristik dan ciri islam adalah karakteristik ilahiyah yang senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan Sang Penciptanya. Karakteristik yang tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah swt sehingga ia dinilai sebagai suatu ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah swt.

Kalau seandainya mereka yang mengatakan bahwa penggunaan cincin dalam perkawinan juga berasal dari islam berdasarkan hadits Rasulullah saw kepada salah seorang sahabatnya,”Berikanlah mahar, meskipun hanya sebuah cincin besi,” , (HR. Bukhori) maka tidaklah tepat karena hadits ini berkaitan dengan mahar seorang yang ingin menikah.

Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Mahar dengan Barang dan Cincin Besi. Artinya bahwa seseorang yang ingin menikah sedang ia tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan maharnya maka ia diperbolehkan memberikan mahar walaupun hanya berupa cincin besi atau sesuatu yang tidak seberapa harganya.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo Lc-


Apakah Tahlilan dan Qunut itu Bid’ah?

$
0
0

sigitAssalamualaikum wr. wb.

Pak ustadz yang dirahmati Allah….

Bagaimana hukumnya kalau kita melakukan tahlil bersama dan menjalankan doa qunut. Kenapa ada golongan yang memarahi saya dan bilang kalau saya penganut bid’ah.

Pak ustadz, tolong beri penjelasan ya…!

Wassalamu’alaikum wr. wb.

 

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Tahlilan

Tahlilan adalah ritual / upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000. (sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Tahlilan)

Tahlilan ini dilakukan dengan mengucapkan berbagai dzikir dan pembacaan al Qur’an (seperti; surat Al Fatihah dan Yasin) bahkan tidak jarang juga keluarga si mayit secara khusus mengundang para qori untuk membacakannya bagi si mayit. Tahlilan kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat yang di-amini oleh para hadirin.

Ada dua hal yang perlu dilihat dari sudut pandang syari’ah didalam permasalahan ini :

  1. Pengiriman pahala amal-amal sholeh kepada si mayit.
    Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)Dalam penjelasan tentang hadits ini Imam Nawawi mengatakan, ”Doa, pahalanya akan sampai kepada si mayit demikian pula sedekahnya dan keduanya sudah menjadi kesepakatan para ulama. Demikian halnya dengan pelunasan utang-utangnya. Adapun haji bagi si mayit diperbolehkan menurut Syafi’i dan para pendukungnya, dan ini masuk dalam bab pelunasan utang apabila hajinya adalah yang wajib dan apabila yang sunnah serta telah diwasiatkan oleh si mayit maka ini masuk dalam bab wasiat. Adapun jika ia mati dan memiliki tanggungan puasa maka yang benar adalah walinya harus berpuasa baginya, masalah ini telah dibahas didalam bab puasa. Sedangkan bacaan al Qur’an dan menjadikan pahalanya bagi si mayit, sholat baginya atau yang sejenis itu maka didalam madzhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa itu semua tidaklah sampai kepada si mayit..” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)

    Sedangkan membaca Al Qur’an, ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Ahlus Sunnah. Imam Nawawi berkata,”Yang lebih terkenal dan mazhab Syafi’i bahwa hal itu tidaklah sampai.” Ahmad bin Hambal dan para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit. Maka sebaiknya si pembaca setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala bacaanku ini kepada si fulan.”

    Di dalam kitab “al Mughni” oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Segala kebajikan akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu, karena kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan menghadiahkannya bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang menentangnya, hingga menjadi kespekatan.”

    Namun demikian mereka yang mengatakan bahwa pahala bacaan al Qur’an itu sampai kepada si mayit mensyaratkan bahwa yang membacanya tidak diperbolehkan menerima upah dari bacaannya tersebut. Dan jika dia mengambil upah atas bacaaannya itu maka yang demikian diharamkan bagi si pemberi dan si penerima serta tidak ada pahala baginya atas bacaannya itu., seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin Syibl bahwasanya Nabi saw bersabda,”Bacalah al Qur’an, amalkanlah…. dan janganlah engkau kekeringan darinya, janganlah terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan janganlah memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah juz I hal 569 Maktabah Syamilah)

    Jadi tidak diperbolehkan seseorang membaca al Qur’an bagi si mayit dengan mengharapkan uang atau pembayaran atasnya karena hal itu memunculkan ketidak-ikhlasan terhadap amal tersebut, dan amal ini ditolak oleh Allah swt.

  2. Berkumpulnya masyarakat pada hari-hari tertentu di rumah si mayit untuk melaksanakan acara tersebut.
    Ta’ziyah adalah upaya menghibur keluarga si mayit dari rasa berduka dan menyabarkannya atas musibah yang menimpanya dikarenakan kehilangan anggota keluarganya. Ta’ziyah ini hukumnya sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw tatkala beliau melewati seorang wanita yang sedang menangisi anaknya yang meninggal, Beliau mengatakan,”Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Kemudian beliau bersabda lagi,”Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama kali.” (HR. Bukhori dan Muslim) dan juga sabdanya saw,”Tidak seorang mukmin pun datang berta’ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Adapun terkait dengan keharusan keluarga dekat si mayit menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang dan berkumpul di rumahnya maka dijelaskan didalam hadits-hadits berikut :

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa Rasulullah saw bersabda,”Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan karena dia sedang disibukkan oleh satu urusan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  2. Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy mengatakan,”Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sama dengan meratapi mayat.” (HR. Ibnu Majah)
    Ibnu Humam dalam Fathil Qodir Syarhul Hidayah mengatakan,”Disunnahkan bagi tetangga dari keluarga yang meninggal dan para kerabatnya yang jauh untuk mempersiapkan makanan bagi mereka yang dapat mengenyangkan mereka sehari semalam. “ (Aunul Ma’bud juz VII hal. 119, Makatabah Syamilah)Al Qoriy mengatakan,”Pembuatan makanan yang dilakukan oleh keluarga si mayit untuk menyajikan orang-orang yang berkumpul baginya adalah bid’ah makruhah sehingga tepat apa yang diriwayatkan oleh Jarir diatas,’Bahwa kami menganggapnya bagian dari meratapi.” Dan hal ini tampak keharamannya.” (Tuhfatul Ahwaziy juz III hal 54 Maktabah Syamilah)

Tahlilan ini sudah menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging di masyarakat kita dan sudah berlangsung dari generasi ke generasi, konon ini tradisi yang dilakukan sejak zaman Wali Songo untuk mengganti kebiasaan masyarakat saat itu yang masih bercampur dengan budaya hindu, Wallahu A’lam. Yang pasti, tradisi ini sudah begitu melekat di masyrakat kita.

Sebagian masyarakat bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan ini adalah bagian dari keutamaan yang harus dilakukan oleh keluarga si mayit demi membantunya di alam barzahnya, mereka merasa ada yang kurang (tidak lengkap) dalam penyelenggaraan pengurusan jenazah jika tidak ada tahlilan. Bahkan di masyarakat kerap kali keluarga yang tidak melakukan tradisi ini menjadi buah bibir dan omongan negative diantara mereka, meskipun hal ini biasanya hanya berlangsung sebentar saja.

Untuk itu dalam menyikapi masalah ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan kea rah yang ideal. Tindakan perlahan-lahan dalam perubahan ini bukan berarti kita harus menyalahi syari’at atau hukum.

Dari penjelasan beberapa hal yang menjadi isi suatu acara tahlilan diatas bisa disimpulkan :

  1. Bahwa amal-amal yang dilakukan, seperti dzikir, doa, sedekah yang pahalanya untuk dikirimkan kepada si mayit diperbolehkan.Khusus pengiriman pahala bacaan Al Qur’an, —seperti al Fatihah, Yasin atau yang lainnya—kepada si mayit hendaklah dilakukan ikhlas karena Allah, tanpa mengeluarkan atau meminta bayaran.
  2. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
  3. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Disebutkan didalam buku Fiqhus Sunnah bahwa Ahmad dan banyak ulama golongan Hanafi menganut pendapat diatas (bid’ah). Akan tetapi orang-orang terdahulu dari golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak ada salahnya duduk bukan di masjid dalam waktu tiga hari untuk ta’ziyah, asal tidak melakukan hal-hal yang terlarang. (Fiqhus Sunnah edisi terjemah juz II hal 203 – 204)

Membaca Doa Qunut

Membaca qunut ini disunnahkan didalam sholat, namun para ulama berbeda pendapat tentang sholat apa saja yang didalamnya dibacakan qunut..

  1. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa qunut dibaca didalam sholat witir. Mereka berpendapat qunut ini dilakukan sebelum ruku’. Qunut tidak dilakukan pada sholat-sholat selain witir kecuali apabila terjadi suatu bencana maka ia dilakukan di sholat-sholat yang dikeraskan bacaannya. Adapun bahwa nabi telah melakukan qunut selama satu bulan saat sholat subuh ini telah dimansukh (dihapus) menurut ijma, dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau saw pernah melakukan qunut didalam sholat subuh selam satu bulan kemudian dia saw meninggalkannya.” (HR. al Bazaar, Thabrani dan Ibnu Abi syaibah).
  2. Para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa disunnahkan qunut dibaca dengan suara pelan didalam sholat shubuh saja dan tidak disaat sholat witir dan selainnya karena hal itu makruh. Qunut itu afdhol dilakukan sebelum ruku’ walaupun jika dilakukan setelah ruku’ juga boleh.
  3. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa disunnahkan qunut itu dilakukan saat i’tidal (bangun dari ruku’) di raka’at kedua sholat subuh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw melakukan qunut sholat subuh hingga beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Abdur Razaq dan Daru Quthni). Dan Umar ra juga melakukan qunut di sholat subuh dan dihadiri oleh para sahabat yang lainnya.
  4. Para ulama madzhab Hambali berpendapat seperti para ulama madzhab Hanafi bahwa qunut disunnahkan didalam sholat witir yang satu rakaat.sepanjang tahun, ia dilakukan setelah ruku’. Dan sebagaimana pendapat Syafi’i bahwa qunut juga dilakukan pada sholat witir di bagian kedua akhir dari bulan Ramadhan, namun jika ada yang melakukan qunut sebelum ruku’ pun tidak masalah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw melakukan qunut setelah ruku’.” (HR. Muslim) serta yang diriwayatkan dari Humaid berkata, “Bahwa Anas pernah ditanya tentang qunut didalam sholat shubuh? Dia menjawa,’Kami dahulu melakukan qunut sebelum ruku’ juga sesudahnya.” (HR. Ibnu Majah) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1001 -1008)

Jadi menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i bahwa membaca qunut bisa dilakukan didalam sholat shubuh, meskipun pandapat ini tidak sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad.

Di sinilah kaum muslimin diminta lebih arif dalam melihat perbedaan dikalangan para ulama tersebut sebagai suatu khazanah ilmiyah yang dimiliki umat ini dengan saling menghargai dan tidak menyerang orang-orang yang berbeda dengannya dalam hal yang furu’iyah seperti diatas.

Qunut saat ada musibah atau bencana

Dalam hal ini, para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali berpendapat bahwa qunut saat ada bencana ini disyariatkan tapi tidak secara mutlak. Menurut para ulama madzhab Hanafi ia disyariatkan hanya di sholat-sholat yang bacaannya dikeraskan saja. Sedangkan menurut para ulama madzhab lainnya disetiap sholat yang wajib namun para ulama Hambali mengecualikan sholat jum’at karena hal itu sudah cukup dengan khutbahnya. Dianjurkan juga doa qunut tersebut dibaca dengan suara keras. …

Qunut Nazilah ini mengikuti contoh dari Rasulullah saw yang telah melakukan qunut selama satu bulan untuk mendoakan agar pembunuh-pembunuh para sahabat pemnghafal Qur’an di sumur Ma’unah itu dibalas oleh Allah swt.” (HR.Bukhori Muslim) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1008)
Wallahu A’lam.

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Halalkah Makan Daging di Negeri Non Muslim?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr Wb

Alhamdulillah. Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi SAW, keluarga dan para pengikutnya.

Saya seorang mahasiswa yang sedang belajar di Eropa. Selama berada di sini, ada beberapa hal yang mengusik perhatian saya terkait dengan kehalalan makanan yang saya konsumsi. Karena berhati-hati, saya cenderung memasak sendiri makanan yang saya makan di samping juga pertimbangan keuangan yang lebih hemat.

Akan tetapi, hal ini juga tidak lepas dengan perasaan ragu-ragu saya tentang status daging yang saya beli di supermarket. Pertanyaan saya:

  1. Apakah daging sapi, ayam, dsb halal dikonsumsi mengingat cara penyembelihannya yang mungkin tidak sesuai syariat Islam?
  2. Cara pengolahan daging mentah di sini tidak membedakan jenis dagingnya (berdasarkan pengamatan saya) di mana kelihatannya pisau yang digunakan sama untuk memotong dan mengemas daging sapi, babi atau yang lainnya. Bagaimana status daging binatang halal yang cara pemotongan dan pengemasannya nya seperti ini (walaupun jelas di sini daging dikelompokkan berdasarkan jenisnya).

Mohon tanggapan Ustadz mengenai hal ini. Jazakumullah khoiron katsiro.

Wassalamu’alaikum wr wb

Waalaikumussalam Wr Wb.

Saudara Santoso yang dimuliakan Allah swt.

Tentang hukum sembelihan orang-orang Ahli Kitab telah disebutkan Allah swt didalam firman-Nya, ”…Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka.” (QS. Al Maidah: 5) dan yang dimaksudkan dengan makanan dalam ayat ini adalah sembelihan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. Sedangkan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani, karena pada asalnya mereka adalah ahli tauhid..

Berdasarkan ayat di atas, maka para ulama telah bersepakat bahwa sembelihan orang-orang ahli kitab halal bagi kaum muslimin begitu pula sebaliknya.

Namun demikian harus juga diperhatikan hal-hal berikut :

  1. Penyebutan nama Allah saat penyembelihan.
    Ibnu Rusyd mengatakan bahwa apabila orang-orang ahli kitab dalam penyembelihannya tidak diketahui apakah menyebut nama Allah atau tidak, maka menurut jumhur ulama boleh dimakan, sebagaimana diriwayatkan dari Ali, dan aku (ibnu Rusyd) tidak menyebutkannya di sini. Hal ini mengandung kemungkinan untuk dikatakan bahwa pada asalnya sembelihan mereka tidak boleh dimakan kecuali memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh Islam. Apabila dikatakan dalam hal ini bahwa penyebutan nama Allah adalah persyaratan dalam penyembelihan maka diharuskan untuk tidak dimakan karena adanya keraguan dalam hal ini. Adapun apabila diketahui bahwa mereka menyembelih untuk hari-hari besar atau gereja-gereja mereka maka para ulama memakruhkannya, demikianlah perkataan Imam Malik. Di antara para ulama ada yang membolehkannya sebagaimana perkataan Asyhab dan sebagian lagi ada yang mengharamkannya, seperti Syafi’i.Perbedaan mereka disebabkan adanya pertentangan antara keumuman ayat didalam permasalahan ini, yaitu,”…Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka.” (QS. Al Maidah : 5) yang mungkin mengkhususkan firman Allah lainnya,” dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqoroh : 173). Dan kemungkinan yang lain adalah ayat ini “ dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqoroh : 17) mengkhususkan firman Allah,”…Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka.” (QS. Al Maidah : 5) Jadi salah satu dari dua kemungkinan itu mengecualikan salah satu yang lainnya.

    Siapa yang berpendapat bahwa firman Allah” dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqoroh : 173) mengkhususkan firman Allah swt,”…Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka.” (QS. Al Maidah : 5) maka tidak diperbolehkan memakan sembelihan untuk hari-hari besar dan gereja-gereja mereka, namun bagi orang yang berpendapat sebaliknya maka diperbolehkan. (Bidayatul Mujtahid juz I hal. 330)

  2. Cara penyembelihannya.
    Hal yang harus diperhatikan juga terhadap sembelihan ahli kitab adalah cara penyembelihannya harus seperti cara-cara kaum muslimin dalam penyembelihan yaitu memutuskan tenggorokan dan saluran (nadi) makanan, tidak disyariatkan memotong dua nadi. Apabila seseorang melihat secara langsung seorang ahli kitab menyembelihnya dengan cara mencekik atau memecahkan kepalanya maka ini diharamkan. Namun jika ia tidak melihatnya atau mendengar cara penyembelihannya itu maka sembelihan itu tetap dibolehkan, seperti yang dikatakan Abu Hanifah, “Sesungguhnya sembelihan ahli kitab boleh dimakan jika tidak disaksikan penyembelihannya dan tidak didengarnya sedikit pun atau didengar dan disaksikan penyebutan nama Allah swt saja didalamnya… seperti yang diriwayatkan dari Ali saat ditanya tentang orang ahli kitab yang menyembelih dengan mengucaokan (saat menyembelihnya) apa yang mereka ucapkan.’ Beliau pun menjawab,’Sesungguhnya Allah telah menghalalkan sembelihan mereka dan Dia swt mengetahui apa yang mereka ucapkan (saat menyembelih).” (Bada’iush Shona’i fii Tartiibisy Syaro’i juz 10 hal 167 Maktabah Syamilah)

Jadi sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) baik di Eropa ataupun di negeri lainnya halal dimakan selama :

  1. Anda menyaksikan atau mendengar bahwa penyembelihan tersebut dengan menyebutkan nama Allah saja.
  2. Cara penyembelihannya sesuai dengan cara yang dilakukan Islam dalam penyembelihan, tidak dengan menggunakan cara mencekik, memecahkan kepalanya atau disetrum dengan listrik
  3. Jika anda tidak melihat atau mendengar tentang bagaimana mereka melakukan penyembelihan, apakah disebutkan nama Allah saja atau nama selainnya, atau apakah cara penyembelihannya sesuai dengan cara Islam atau tidak maka ini boleh dimakan, berdasarkan riwayat dari Ali ra diatas.

Adapun perihal daging-daging yang berasal dari hewan-hewan yang halal untuk dimakan namun kemungkinan penyembelihannya menggunakan pisau yang juga dipakai untuk memotong babi atau anjing adalah sebagai berikut :

  1. Anda tidak diperbolehkan memakan daging tersebut jika anda betul-betul mengetahui bahwa daging itu disembelih dengan pisau yang telah digunakan untuk memotong babi atau anjing, kecuali jika si penyembelih sebelum menyembelih daging dari hewan yang halal itu terlebih dahulu mencuci pisau tersebut dengan menggunakan air dan tidak disyaratkan tujuh kali pencucian dengan disertai tanah.
  2. Namun jika anda tidak mengetahuinya baik melihatnya secara langsung penyembelihannya atau mendengar tentangnya apakah menggunakan pisau yang juga digunakan untuk memotong anjing atau babi tanpa disucikan terlebih dahulu maka boleh dimakan berdasarkan hadits, bahwa Rasulullah saw pernah memakan daging kambing panggang beracun yang diberikan oleh seorang wanita Yahudi tanpa beliau saw bertanya kepadanya siapa yang menyembelihnya apakah muslim atau yahudi, tidak menanyakan alat yang digunakan untuk menyembelihnya apakah sebelumnya digunakan untuk daging babi atau tidak begitu juga tentang alat yang digunakan untuk menghidangkannya. Dalil lain yang bisa digunakan juga adalah apa yang diriwayatkan oleh Ali ra saat beliau ditanya tentang sembelihan ahli kitab yang menyebutkan (dalam menyembelihnya) apa yang mereka sebutkan.’ Beliau pun menjawab, ’Sesungguhnya Allah telah menghalalkan sembelihan mereka dan Dia swt mengetahui apa yang mereka katakan.”

Namun demikian, anda harus senantiasa sungguh-sungguh untuk memberikan penilaian terhadap setiap daging sembelihan yang anda dapati dan tidak meremehkannya. Dan jika anda masih tetap ragu-ragu akan kehalalannya maka lebih baik anda tinggalkan dan anda beralih kepada yang anda yakini kehalalannya sebagaimana hadits Rasulullah saw, “Tinggalkanlah hal-hal yang anda ragukan dan beralihlah kepada hal-hal yang tidak anda ragukan.” (HR. Tirmidzi)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bolehkah Berkurban Atas Nama Orang Tua Yang Telah Meninggal

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang saya hormati dan semoga selalu dalam lindungan Allah SWT., sehubungan dengan datangnya Hari Raya Idul Qurban, saya ingin menyampaikan pertanyaan sbb.:

1. Bagaimana hukumnya bila saya ingin berkurban seekor kambing untuk (atas nama) kedua orang tua saya yang sudah meninggal?

2. Mana yang lebih utama, berkurban dulu untuk diri sendiri (karena saya belum berkurban) dan berkurban untuk kedua orang tua yang sudah meninggal?

Demikian pertanyaan ini dan atas perhatian Ustadz diucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Chandra

Waalikumussalam Wr Wb

Hukum Kurban untuk Orang yang Sudah Meinggal

Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim) Kurban seseorang yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal ini bisa disamakan dengan sedekah.

Imam Nawawi menyebutkan didalam Syarhnya,”Doa yang dipanjatkan, pahalanya akan sampai kepada orang yang sudah meninggal demikian halnya dengan sedekah, dan kedua hal tersebut adalah ijma para ulama.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)

Imam Nawawi juga mengatakan didalam Syarhnya,”Para ulama telah sependapat bahwa doa seseorang kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepadanya demikan pula halnya dengan sedekah yang ditujukan kepada orang yang meninggal, pahalanya akan sampai kepadanya dan tidak mesti orang itu harus anaknya. (Al Majmu’ juz XV hal 522, Maktabah Syamilah)

Para ulama telah bersepakat bahwa sedekah seseorang kepada orang yang telah meninggal akan sampai kepadanya, demikian pula ibadah-ibadah harta lainnya, seperti membebaskan budak. Adapun perselisihan dikalangan para ulama adalah pada masalah ibadah badaniyah, seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an dikarenakan adanya riwayat dari Aisyah didalam shohihain dari Nabi saw,”Barangsiapa yang meninggal dan masih memiliki kewajiban puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuknya.” (Majmu’ Fatawa juz V hal 466, Maktabah Syamilah)

Dalil lain yang juga digunakan oleh para ulama didalam membolehkan kurban bagi orang yang meninggal adalah firman Allah swt,”dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir juga menyelipkan sabda Rasulullah saw,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim) dan dia mengatakan, ”Tiga golongan didalam hadits ini, sebenarnya semua berasal dari usaha, kerja keras dan amalnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, ’Sesungguhnya makanan yang paling baik dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya seorang anak adalah hasil dari usaha (orang tua) nya.” (Abu Daud, Tirmidzi, an Nasai dan Ahmad) Dan sedekah jariyah seperti wakaf dan yang sejenisnya adalah buah dari amal dan wakafnya.

Firman Allah swt., ”Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasiin : 12) –(Tafsir Ibnu Katsir juz VII hal 465, Maktabah Syamilah)

Jadi dibolehkan seseorang berkurban untuk orang yang sudah meninggal terlebih lagi jika orang yang sudah meninggal tersebut masih ada hubungan kerabat dengannya.

Kurban untuk Diri Sendiri atau Orang Tua

Kurban adalah suatu ibadah yang sunnah muakkadah dan ditujukan kepada kaum muslimin yang mukallaf, yaitu orang yang memenuhi persyaratan untuk terbebani oleh suatu perintah syari’ah seperti, berakal, baligh tidak dalam keadaan tidur, lupa atau mabuk serta memiliki kesanggupan financial. Sementara orang yang sudah meninggal adalah orang yang terlepas dari persyaratan-persyaratan diatas, berarti jelas dia tidaklah termasuk orang mukallaf.

Dalam kondisi normal, orang hidup masih terkena taklif (beban) melakukan ibadah kepada Allah swt termasuk berkurban Sehingga dirinya lebih diutamakan daripada orang yang sudah meninggal kecuali jika orang yang sudah meninggal itu telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum meninggalnya. Dalam kondisi yang kedua ini maka para ahli warisnya wajib menunaikannya walaupun diri mereka belum pernah melakukan penyembelihan kurban untuk diri mereka sendiri.

Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah saw dan berkata, ”Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat berwasiat.’ Maka Rasulullah saw bersabda, ’Tunaikanlah untuknya.” (HR. Abu Daud)

Ibnu Hazm dan orang-orang yang bersepakat dengannya berpendapat bahwa ahli waris dari orang yang meninggal diharuskan menunaikan nazar bagi orang yang mewarisinya dalam segala keadaan.

Juga hadits yang dikeluarkan dari jalur Thoriq al Qosim bin Muhammad bahwasanya Sa’ad bin Ubadah berkata, ”Wahai Rasulullah saw, Sesungguhnya ibuku telah meninggal. Apakah jika aku membebaskan budak baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau menjawab,’Ya.’ Disebutkan : bahwa itu adalah sedekah.

Disebutkan dalam kitab ‘al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad bin Ubadah pergi menemui Nabi saw dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.”

Kandungan dari hadits itu adalah menunaikan hak-hak yang wajib terhadap orang yang sudah meninggal dan jumhur ulama berpendapat bahwa siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan nazar harta maka wajib ditunaikan dari pokok harta yang dimilikinya jika ia tidak berwasiat kecuali jika nazar itu terjadi disaat sakit menjelang kematiannya maka dari sepertiga hartanya. Sementara para ulama madzhab Maliki dan Hanafi mensyaratkan orang itu berwasiat. (Nailul Author juz XIII hal 287 – 288, Maktabah Syamilah)

Penyembelihan hewan kurban bisa menjadi wajib dikarenakan nazar, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Barangsiapa yang telah bernazar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaati Allah.” (HR. Bukhori Muslim) dan juga firman Allah, ”Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj : 29) bahkan apabila orang yang melakukan nazar itu meninggal dunia, maka pelaksanaan nazar yang telah diucapkan sebelum meninggal dunia boleh diwakilkan kepada orang lain.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa daging sembelihan yang disebabkan melaksanakan nazar tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban sama sekali, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i yang berbeda dengan pendapat para ulama madzhab Hambali bahwa disunnahkan memakan sembelihan darinya, yaitu sepertiga dimakan, sepertiga dibagikan kepada karib kerabat dan sepertiga disedekahkan. (Fatawa al Azhar juz IX hal 313, Maktabah Syamilah)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Mencintai Pria Yang Sudah Menikah

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum. Wr. Wb.

Ustadz, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.

Saya punya teman seorang laki-laki yang sudah menikah. Awalnya hanya teman bias. Semakin lama, hubungan kami semaikn dekat. Saya sering menceritakan masalah-masalah saya padanya dan dia pun sering mengatakan masalahnya pada saya. Saya pun sadar bahwa saya mempunyai perasaan kepadanya. Dan ternyata, laki-laki itu juga memiliki perasaan yang sama. Karena merasa diterima, saya dan dia menjalin hubungan.

Saya sadar bahwa saya telah melakukan kesalahan. Tapi, sulit bagi saya untuk menjauh darinya. Saya sudah katakan berkali-kali bahwa saya ingin belajar terlebih dahulu dan tidak ingin membuat rumah tangganya hancur karena saya. Tapi, entah kenapa saya tidak bisa istiqomah. Hubungan kami terus berlanjut hingga saat ini (tapi saat ini kami hanya berhubungan via telpon dan internet saja, saya berusaha untuk tidak bertemu langsung dengan dirinya).

Saya minta kepadanya untuk tegas. Dia bilang, dia mau menceraikan istrinya asal saya mau menikah dengannya.

Saya bingung, salahkah saya jika saya mencintai dia ustadz? Dan apa yang harus saya lakukan?
Jika saya menerimanya, apakah kelak saya akan mendapatkan karma? (Karena saya sudah menghancurkan rumah tangga orang)

Bagaimana caranya agar saya bisa istiqomah untuk berpisah dengannya ustadz?

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari Via yang dirahmati Allah swt.

Larangan Berhubungan Intim dengan Yang Bukan Mahram

Terlalu seringnya anda berinteraksi dengan dia tanpa anda sadari telah membuka peluang bagi setan untuk terus memperdaya anda berdua sehingga mengarah kepada hal-hal yang tidak sebatas antar kawan tapi sudah mengarah kepada saling menyukai.

Firman Allah swt,”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra : 32)

Allah swt melarang hamba-hamba-Nya dari perzinahan dan apa-apa yang bisa mendekatkan seseorang kepadanya, berinteraksi dengan sebab-sebabnya atau segala macam pendorongnya. (Tafsir Ibnu Katsir juz V hal 72)

Di dalam ayat ini jelas bahwa Allah swt memberikan peringatan kepada hamba-hamba-Nya akan bahaya perzinahan dan hal-hal yang mendekatkan seseorang kepadanya, seperti pergaulan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya tanpa batas-batas yang dibenarkan syariah,

Al Qur’an telah memberikan peringatan walaupun hanya sebatas mendekati perzinahan yaitu dengan memaksimalkan penjagaan terhadapnya karena perzinahan mendorong kepada syahwat yang kuat. Sedangkan penjagaan diri dari mendekatinya adalah jaminan keamanan, sementara orang yang mendekati sebab-sebab terjadinya perzinahan tidaklah memiliki jaminan.

Dari sini, Islam mengambil jalan untuk menghindari berbagai sebab-sebab pendorongnya dan tidak terjatuh kedalamnya. Islam memakruhkan ikhtilath (percampuran dalam bergaul antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya), mengharamkan kholwat (berdua-duaan), melarang tabarruj (berdandan) dengan berbagai perhiasan yang bukan untuk suaminya, menganjurkan untuk menikah bagi yang telah memiliki kesanggupan, memerintahkan untuk berpuasa bagi yang belum memiliki kesanggupan untuk menikah, memakruhkan berbagai penghalang yang bisa menghambat pernikahan seperti penentuan jumlah mahar yang berlebih-lebihan, menghilangkan ketakutan akan kekurangan harta dan kemiskinan disebabkan anak-anak, menganjurkan untuk membantu orang-orang yang ingin menikah demi memelihara kehormatan dirinya, memberikan sangsi atas suatu tindakan kriminal yang terjadi dan juga tuduhan berzinah terhadap wanita-wanita yang baik lagi lengah tanpa bukti.. hingga berbagai sarana-sarana preventif dan kuratif demi menjaga masyarakat islam dari kerusakan dan kehancuran. (Fii Zhilalil Qur’an juz IV hal 2224)

Paling tidak, di dalam hubungan diantara anda berdua ada dua hal yang secara syari’ah tidak dibenarkan seperti; berkholwat (berdua-duaan) dan memandang kepada orang asing baligh dan berakal karena dikhawatirkan akan terjadi fitnah.

Demikianlah Islam yang lebih mengedepankan tindakan preventif dari pada kuratif dikarenakan hal itu jauh lebih mudah dihindari daripada ketika masalah itu telah terjadi. Terlebih lagi suatu kemaksiatan (dosa) cenderung akan bertambah besar bobotnya jika terus menerus dilakukan meskipun pada awalnya mungkin biasa-biasa saja atau kecil. Ada ungkapan,”Sesungguhnya sebuah gunung itu adalah kumpulan pasir-pasir.”

Hakekat Cinta

Cinta didalam bahasa arab berarti mahabbah. Cinta memiliki banyak arti sebagaimana disebutkan Ibnu Qoyyim, diantaranya :

  1. Cinta adalah kecenderungan peemanen yang dialami oleh kalbu orang yang dimabuk asmara.
  2. Cinta adalah sikap memprioritaskan yang dikasihi melebihi semua teman.
  3. Cinta adalah selalu bersepakat dengan yang dicintai, baik pada saaat ada yang dicintainya atau pada saat dia tidak ada.
  4. Cinta adalah menyedikitkan hal-hal yang banyak didalam diri anda dan memperbanyak hal-hal yang sedikit dalam diri kekasih anda.
  5. Cinta adalah mengeratkan ketundukan dan meninggalkan perbedaan.
  6. Cinta adalah menghilangkan siapa pun dari hati anda kecuali yang anda cintai. (Madarijus Salikin juz II hal 11 – 13)

Bagi seorang muslim yang telah ridho bahwa Allah sebagai Tuhannya dan telah mengikrarkannya dengan dua kalimat syahadatnya maka haruslah mengedepankan kecintaan dalam arti diatas kepada Allah swt, Rasul-Nya baru kemudian kepada orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah swt dari kalangan orang-orang beriman.

Firman Allah swt,”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqoroh : 165) Menurut Ibnu Qoyyim, ayat ini mengandung arti :

  1. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah dari segala tuhan dan sembahan-sembahan yang dicintai mereka orang-orang musyrik yang mereka agungkan melebihi dari Allah swt.
  2. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah dari kecintaan orang-orang musyrik kepada sembahan-sembahan mereka. Sesungguhnya kecintaan orang beriman itu adalah murni sedangkan kecintaan para penyembah tuhan-tuhan selain Allah mudah lenyap secara berangsur-angsur. (Madarijus Salikin juz II hal 20)

Diantara keharusan didalam mencintai Allah adalah mencinta orang-orang yang dicintai-Nya baik Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman. Adapun kecintaan kepada sesama orang beriman tidaklah dilandasai atas dasar hawa nafsu, syahwat, kepentingan duniawai namun harus dibangun diatas kecintaan kepada Allah swt, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi saw bersabda,”Tiga perkara yang jika ada (dalam diri seseorang) maka ia akan merasakan manisnya iman : 1. Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dari selain keduanya. 2. Hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah. 3. Hendaklah ia membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhori)

Tentunya ketika mencintai seseorang karena Allah swt maka ia akan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya didalam mencintai orang tersebut, baik sebab-sebab cintanya, cara dan sarana dalam mencintainya dan tujuan mencintainya. Sehingga kecintaan yang diberikannya bernilai ibadah oleh Allah swt dan mendapatkan pahala dari-Nya.

Kuatkan Tekad Anda

Bukanlah solusi ketika dia harus menceraikan isterinya dikarenakan mencintai anda yang berarti isteri dan anak-anaknya menjadi korban dalam permasalahan ini, padahal perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Perkara halal yang dibenci Allah swt adalah talaq.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Mungkin ada yang berpendapat, mengapa tidak mengambil pintu poligami?!! Memang dibenarkan bagi seorang muslim untuk memiliki isteri hingga empat orang namun hal ini tidaklah semudah orang membalikkan tangannya dikarenakan adanya beberapa persyaratan yang harus diperhatikan yaitu mampu berlaku adil dalam aspek materil, pergaulan yang baik dan bermalam serta mampu memberikan nafkah secara adil kepada isteri-isterinya.

Nah.. kalau ingin mengambil pintu poligami haruslah betul-betul dihitung secara cermat oleh anda berdua, betulkah dia bisa berlaku adil?! Sementara saat ini saja dia sudah ada niatan siap menceraikan isterinya jika anda bersedia menikah dengannya.

Jangan sampai pernikahan yang harusnya bisa memberikan kebahagiaan kepada setiap orang yang ada didalamnya tapi berubah menjadi suatu penderitaan tidak hanya di dunia tapi juga diakherat dikarenakan tidak mampunya dia berlaku adil diantara isteri-isterinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Barangsiapa yang memiliki dua orang isteri sementara dia lebih cenderung kepada salah satu dari keduanya (tidak adil) maka dia akan datang pada hari kiamat dengan separuh badan yang miring.” (HR. Abu DAud)

Kesadaran anda bahwa apa yang anda lakukan ini adalah keliru—semoga Allah merahmati anda—merupakan suatu hal yang perlu segera difollow-up kedalam langkah-langkah yang kongkrit, karena tidak jarang orang mengetahui suatu kebenaran namun tidak kuasa untuk mengikutinya seperti halnya banyak orang yang mengetahui keburukan namun juga tidak kuasai untuk menghindarinya.

Anda harus terus membina hubungan dengan Allah swt dengan memperbanyak doa dan amal sholeh karena Dial ah yang menggenggam hati seseorang dan membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Mudah-mudahan doa-doa yang anda panjatkan terutama di penghujung malam serta amal-amal sholeh yang anda lakukan diterima Allah swt dan menjadi sarana untuk mendapat keteguhan dan keistiqomahan hati untuk tetap berada diatas kebenaran.

Firman Allah swt, ”Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir : 10)

Selain itu anda juga harus berusaha untuk menjarangkan intensitas pertemuan dan hubungan dengannya secara perlahan-lahan hingga betul-betul anda bisa melupakan dirinya, memang hal ini tidak mudah anda lakukan, namun tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di alam ini kecuali kata tidak mungkin itu sendiri karena semua bisa terjadi dengan kehendak Allah swt. Ada satu pepatah arab yang mengatakan,”Siapa yang berusaha dengan keras maka dia akan sukses.”

Hal lain yang bisa membantu anda untuk merealisasikan keinginan itu adalah dengan mengisi waktu-waktu kosong anda dengan berbagai aktivitas yang bermanafaat. Karena sering kali waktu luang melalaikan seseorang dari dzikrullah, menjadikannya berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat atau mungkin akan membawa fikiran anda untuk kembali berfikir tentangnya, sabda Rasulullah saw,”Dua nikmat yang menipu dan banyak manusia terjatuh didalamnya, yaitu ; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhori)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Wajibkah Wanita Dikhitan/Sunat ?

$
0
0

sigitAssalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Pertama saya doakan semoga ustadz dalam keadaan sehat walafiat tak kurang suatu apapun.

Beberapa minggu lagi, istri saya akan melahirkan bayi kami yang pertama. Menurut USG Rumah Sakit, diperkirakan anak kami perempuan. Yang ingin kami tanyakan adalah mengenai sunat pada anak kami nantinya. Dari kesehatan sendiri seperti yang saya baca, sunat pada wanita dianjurkan tidak dilaksanakan karena katanya melanggar hak asasi wanita kelak saat sudah menikah. Tapi dari sisi agama saya belum menemukan jawabannya. Apakah sunat pada wanita di wajibkan? Apakah Rasul melakukan hal ini dulunya? Apakah ada dalil-dalil yang menguatkan hal ini?

Atas jawaban nya saya ucapkan terima kasih pak ustadz.

Waalaikumussalam Wr Wb

Khitan merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata : Rasulullah saw bersabda,”Lima hal yang termasuk fitrah adalah mencukur bulu kemaluan, khitan (sunat), mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan menggunting kuku.” (HR. Jama’ah)

Al Khottobi mengatakan,”Kebanyakan ulama berpendapat bahwa maksud dari fitrah adalah sunnah, demikian pula dikatakan oleh yang lainnya.” Mereka mengatakan bahwa hal-hal itu termasuk sunnah para Nabi.” Ada sekelompok lainnya yang mengatakan bahwa makna fitrah adalah agama, sebagaimana pendapat Abu Nu’aim dalam “al Mustakhraj”.

Asy Syeikh Abu Ishaq mengatakan bahwa makna fitrah dalam hadits adalah agama. Ibnu Shalah melihat ketidak-jelasan dalam pendapat al Khottobi dan mengatakan bahwa makna fitrah jauh dari makna sunnah akan tetapi bisa jadi ada suatu kata yang dihilangkan yaitu sunnatil fitrah. Belakangan Nawawi mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh al Khottobi adalah benar. (Fathul Bari juz X hal 398)

Dan khitan baik pada laki-laki maupun wanita adalah sesuatu yang disyariatkan didalam Islam. Hal itu bisa dilihat penyebutan kata khitan—baik pada laki-laki maupun wanita—oleh Rasulullah saw didalam beberapa hadits, seperti yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seseorang duduk diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya; diantara dua tangan dan dua kakinya dan khitan (laki-laki) dengan khitan (perempuan), maksudnya; kemaluan laki-laki dimasukan kedalam kemaluan perempuan maka wajib baginya mandi.” (HR. Muslim)

Juga didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah al Anshoriyah bahwa ada seorang wanita Madinah yang dikhitan kemudian Nabi saw mengatakan kepadanya,”Janganlah kamu berlebihan dalam khitan (memotongnya). Sesungguhnya hal itu akan menambah kelezatan bagi wanita dan akan disukai oleh suami.” (HR. Abu Daud)

Khitan pada kaum laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi ujung kemaluan. Sedangkan khitan pada kaum wanita adalah memotong sedikit saja kulit bagian atas yang muncul ke permukaan dari kemaluan.

Adapun tentang hukum khitan (sunat) maka telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama :

1. Para ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa khitan disunnahkan bagi laki-laki dan mulia bagi wanita, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Khitan disunnahkan bagi kaum laki-laki dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Ahmad Baihaqi)

2. Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hambali mewajibkan khitan baik pada laki-laki maupun wanita berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada seorang yang masuk islam,”Cukurlah rambut tanda kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud)

Juga yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh,”Ibrahim as kekasih Allah swt dikhitan setelah usianya mencapai 80 tahun dan dikhitannya dengan menggunakan kapak.” (Muttafaq Alaih) Khitan merupakan syi’ar islam yang diwajibkan sebagaimana syi’ar-syi’ar islam yang lainnya. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz I hal 461)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya apakah seorang wanita dikhitan? Beliau menjawab,”Ya dikhitan dan khitannya adalah memotong bagian atas kulit yang dikenal seperti pelatuk (biji). Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang dikhitan,’Potonglah sedikit dan jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu menyenangkan jiwa dan menambah kenikmatan saat berhubungan.” (HR. Abu Daud) maksudnya adalah jangan berlebihan dalam memotong.

Tujuan dari dikhitannya laki-laki adalah untuk mensucikannya dari najis yang bertumpuk di ujung kemaluan sedangkan tujuan dari dikhitannya wanita adalah menyeimbangkan syahwatnya karena apabila—tidak dikhitan—dan ketika melihat kaum laki-laki maka gejolak syahwatnya akan sangat kuat.

Karena itu disebutkan dalam sebuah sindiran,”Wahai ibnu qulfa ! sesungguhnya qulfa adalah orang yang sering memandang laki-laki, maka kita dapati berbagai prilaku tak senonoh yang ada pada para wanita Tartar dan Eropa yang hal tersebut tidak kita dapati pada para wanita muslimah. Namun jika pemotongannya dalam khitan terlalu berlebihan maka ia akan memperlemah syahwatnya dan tidak dapat memberikan kesempurnaan kepuasan pada suami sedangkan jika dipotong sedikit (tidak berlebihan) maka ia akan menyeimbangkannya.” (Majmu’ Fatawa juz XXI hal 68)

Memang ada yang mengatakan bahwa khitan tidaklah dianjurkan dari aspek medis dikarenakan ia akan menyulitkan saat buang air kecil, tidak memberikan kepuasan pada pasangannya saat berhubungan atau menyulitkan saat melahirkan.

Jadi saya menyarankan kepada anda, saudara Andi, agar berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang bisa dipercaya untuk meminta pendapatnya apabila putri anda kelak ingin dikhitan. Jika dokter itu mengatakan bahwa khitan akan berbahaya bagi putri anda maka sebaiknya tidak perlu dikhitan sedangkan jika ia mengatakan yang sebaliknya maka silahkan jika anda ingin mengkhitannya.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Viewing all 153 articles
Browse latest View live