Quantcast
Channel: Ustadz Menjawab – Eramuslim
Viewing all 153 articles
Browse latest View live

Bolehkah Muslim Berbaju Warna Kuning?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum

Ustadz, sebelumnya jazakallah atas jawaban atas pertanyaan saya yang lalu, saya membaca beberapa hadits dalam buku terjemahan Subulus Salam jilid II yang menyatakan bahwa Rosulullah Saw. melarang kita umat Islam untuk mencelup kain dengan warna kuning, bagaimana maksudnya, mohon penjelasannya ? atas segera jawaban Ustadz saya ucapkan Jazakallah Khoiron Katsiro

Wassalamu’alaikum

Walaikumussalam Wr Wb

Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Rasulullah saw pernah ditanya,”Pakaian apa yang dikenakan saat orang berihram? Beliau saw menjawab,”Janganlah engkau memakai baju, sorban, celana, baju panjang, terompah kecuali bagi seseorang yang tidak mendapati sandal maka pakailah terompah itu dengan dipotong bagian atas dari mata kakinya. Dan janganlah engkau mengenakan kain yang sedikitpun terkena kunyit (warna kuning).” (Muttafaq alaih, sedangkan lafazhnya dari Muslim)

Hadits ini merupakan dalil diharamkannya mengenakan pakaian (ihram) yang dicelup dengan warna kuning. Namun terjadi perbedaan pendapat terhadap sebab pelarangannya, apakah dikarenakan ia adalah perhiasan atau bau yang ditimbulkannya ? Maka para ulama berpendapat bahwa sebab pelarangan itu adalah dikarenakan bau yang ditimbulkannya jika ia digunakan untuk mewarnai pakaian. Namun apabila ia disiram dengan air dan baunya menjadi hilang maka diperbolehkan berihram dengannya.

Terdapat didalam sebuah riwayat “Kecuali jika ia mencucinya” walaupun demikian (dicuci), pengenaan kain berwarna merah dan kuning tetap diharamkan bagi kaum laki-laki dalam keadaan tidak berihram sebagaimana diharamkannya saat mereka berihram.” (Subulus Salam juz II hal 386)

Dari Ali ra bahwasanya Rasulullah saw melarang mengenakan pakaian sutra dan juga al muashfar “ (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi) Muashfar adalah pakaian atau kain yang dicelup dengan warna merah yang ditimbulkan dari tanaman ushfur yaitu tanaman yang bijinya dibuat minyak, yang sudah dikenal dikalangan orang-orang arab.

Hadits tersebut mengandung pengharaman terhadap pakaian yang dicelup dengan warna merah (muashfar) sebagaimana pendapat al Hadawiyah. Sedangkan sekelompok sahabat Nabi saw, tabi’in memperbolehkan pengenaan pakaian yang dicelup dengan warna merah, demikian pula pendapat fara fuqoha selain ahmad. Ada juga yang mengatakan makruh tanzih (kalaupun dilakukan maka pelakunya tidaklah terkena sangsi). Mereka mengatakan bahwa Nabi saw pernah mengenakan pakaian merah.” Didalam shahihain dari Ibnu Umar,”Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw mencelup dengan warna kuning.”

Ibnul Qoyyim memberikan jawaban terhadap hal ini dengan mengatakan bahwa ia adalah pakaian yang seluruhnya merah. Dia mengatakan,”Sesungguhnya pakaian berwarna merah itu adalah dua pakaian yang berasal dari Yaman yang dijahit dengan benang berwarna merah dan hitam. Permasalahan hanya karena terdapat benang merah ini sudah diketahui sedangkan apabila seluruhnya berwarna merah maka larangan terhadapnya lebih utama lagi. Disebutkan didalam shahihain bahwa Nabi saw melarang mengenakan sutra yang berwarna merah.” (Subulussalam juz II hal 178 – 179)

Dalam pewarnaan pada kain ini paling tidak ada dua permasalahan :
Pertama : Apabila kain dicelup dengan warna merah (muasfhar).
Kedua : Apabila kain dicelup dengan warna kuning (muza’far).

Apabila kain dicelup dengan warna merah (muashfar) maka terdapat perbedaan pendapat :

  1. Ahmad dan al Hadawiyah mengharamkannya berdasarkan riwayat dari Amru bin Ash berkata,”Rasulullah saw melihatku mengenakan dua pakaian dari muasfaroin. Beliau saw bersabda,”Sesungguhnya ini adalah diantara pakaian orang-orang kafir maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim)
  2. Jumhur sahabat, tabi’in, Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i membolehkannya berdasarkan riwayat dari Baro bin Azib yang mengatakan,”Aku pernah menyaksikan Nabi saw mengenakan pakaian berwarna merah.” (HR. Bukhori Muslim)
  3. Ada riwayat dari Imam Malik yang mengatakan bahwa hal itu adalah makruh tanzih apabila dipakai di kebun, pasar dan tempat-tempat lainnya kecuali di dalam atau halaman rumah. Mereka juga berdalil dengan dalil yang digunakan kelompok kedua.

Sedangkan apabila kain dicelup dengan warna kuning (muza’far) maka pendapat para ulama adalah :

  1. Abu Hanifah, Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa hal itu haram digunakan baik pada pakaian maupun badan, berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik ra bahwasanya Rasulullah saw melarang seorang laki-laki yang menggunakan za’faron (warna dari kunyit).” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud)
  2. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah makruh tanzih berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar ra yang berkata,”Aku pernah menyaksikan Nabi saw mencelup dengan warna kuning.”
  3. Sebagian ulama yang lain ada yang melarangnya pada saat mengenakan ihram untuk haji atau umroh berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi saw melarang seorang yang berihram mengenakan kain yang terdapat waros atau za’faron (warna kuning).
  4. Imam Malik membolehkan penggunaan warna kuning untuk kain / pakaian dan diharamkan apabila digunakan untuk badan, berdasarkan riwayat dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda,”Allah tidak menerima shalat seseorang yang dibadannya ada sesuatu dari kholuq (pewangi yang berwarna kuning).”.

Didalam kitabnya “Ma’rifatus Sunan” Imam Baihaqi memberikan tanggapan terhadap pendapat Imam Syafi’i yang mengharamkan pencelupan kain dengan warna kuning dengan mengatakan,” Imam Syafi’i melarang seseorang terhadap kunyit (warna kuning) dan membolehkan muashfar (warna merah) dengan mengatakan bahwa aku memberikan keringanan didalam muashfar dikarenakan aku tidak mendapati seorang pun yang menceritakan dari Nabi saw yang melarang tentang hal ini kecuali apa yang dikatakan oleh Ali ra yang mencegahku dan aku tidak mengatakan mencegah kalian.

Baihaqi mengatakan bahwa ada hadits-hadits yang menunjukkan tentang pelarangan tentang hal itu secara umum lalu dia menyebutkan hadits Abdullah bin Amr bin al ‘Ash diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan juga beberapa hadits yang lainnya. Kemudian dia mengatakan,”Seandainya hadits-hadits ini sampai kepada Syafi’i pasti dia akan berdalil dengan hadits-hadits ini.” Kemudian dia juga menyebutkan sanad-sanadnya yang dishahihkan oleh Syafi’i dan dia (Syafi’i) mengatakan,”Apabila hadits Nabi saw berbeda dengan pendapatku maka amalkanlah hadits itu dan tinggalkanlah pendapatku.” Dan dalam riwayat lain dia mengatakan,”Itu adalah pendapatku.”

Baihaqi mengatakan,”Syafi’i telah mengatakan,”Dan aku melarang seorang yang tidak sedang mengenakan ihram dalam kondisi apa pun mengenakan za’faron (warna kuning).” Dia berkata,”dan aku memerintahkannya apabila dia mengenakan pakaian kuning hendaklah dia mandi.” Baihaqi mengatakan,”Dia mengikuti sunnah didalam kain yang dicelup dengan warna kuning maka apabila dia mengikutinya pula didalam muashfar (warna merah) tentulah lebih utama.” Dia mengatakan,”Sebagian salaf telah memakruhkan muashfar, demikian ini juga pandapat Abu Ubaidah al Hulaimi dari para sahabat kami dan hal ini dirukhshohkan oleh sekelompok ulama. Karena sunnah lebih utama untuk diikuti. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 74 – 76)

Jadi dilarang bagi seorang laki-laki mencelup kainnya dengan ushfur sehingga berwarna merah dan juga dengan za’fron sehingga berwarna merah.

Adapun pakaian-pakaian dari warna-warna selainnya maka para ulama tidaklah berbeda pendapat dalam membolehkannya, bahkan mereka telah bersepakat dalam hal ini sebagaimana disebutkan oleh Nawawi didalam majmu’ (4/337) : “Diperbolehkan mengenakan warna putih, merah, kuning, hijau baik ia merupakan garis-garis warna maupun tidak bergaris, tidak ada perbedaan didalam hal ini dan tidak pula dimakruhkan sedikit pun.”

Didalam “al Mausu’ah al Fiqhiyah” (6/132 – 136) disebutkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa sunnah mengenakan pakaian berwarna putih… para fuqoha telah bersepakat bahwa boleh mengenakan pakaian yang berwarna merah / kuning selama bukan berasal dari muashfar atau muza’far”

Bagi para wanita diperbolehkan mengenakan warna apa saja selama ia tidak berhias untuk orang-orang asing (bukan suaminya). Adapun orang-orang yang mengharamkan muashfar, muza’far dan yang lainnya hanyalah mengkhususkannya bagi kaum laki-laki.

Ibnu Abdil Barr didalam “Tamhid” (16/123) mengatakan,”Adapun terhadap kaum wanita maka tidak ada perbedaan diantara para ulama dalam membolehkan pakaian mereka dicelup dengan muashfar, baik yang merah pekat, merah tidak pekat, atau kain yang dicelup dengan warna merah tipis.” (www.islam-qa.com)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-


Berhaji dengan Berhutang , Bolehkah?

$
0
0

sigitAssalamu Alaikum Wr. Wb.

Maaf pak Ustadz, ada beberapa hal yang ingin saya  ketahui tentang hukum Islam, yaitu :

1. Jika ada anggota keluarga yang berniat haji tapi menggunakan uang pinjaman dari suatu perusahaan, dengan perhitungan nanti pada saat tiba waktu keberangkatan, pinjaman tersebut telah dilunasi oleh yang bersangkutan.  Apakah hal tersebut dibolehkan dalam Islam ?

2.  Bagaimana hukumnya jika seorang suami menyuruh istri untuk tetap bekerja, sementara si istri sudah jenuh bekerja ( kl. 15 tahun ) dan ingin lebih konsentrasi mengurus anak ( 3 orang ) yang mulai beranjak besar, jika memungkinkan berwiraswasta di rumah.  Tapi bila si istri berhenti bekerja, maka si suami mensyaratkan tidak boleh meminta macam2.  Perlu Pak Ustadz ketahui, kami memiliki KPR yang masih berlangsung 11 tahun lagi & asuransi pendidikan untuk 3 orang anak.

Mohon penjelasannnya pak, terima kasih.

Wassalam

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ummu Ila yang dimuliakan Allah swt

Haji dengan Utang

Pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi seorang yang berutang untuk pergi menunaikan ibadah haji sebelum dia melunasinya terlebih dahulu, sebagaimana firman Allah swt :

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Al Aimron : 97)

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa berkata,”Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang seorang yang belum menunaikan haji atau berutang untuk haji? Beliau saw bersabda,’Tidak.” (HR. Baihaqi)

Haji adalah hak Allah yang tegak diatas toleransi sedangkan utang adalah hak manusia yang tidak tegak diatas toleransi. Dengan demikian tidak dibolehkan bagi orang yang berutang pergi menunaikan ibadah haji sebelum melunasi utangnya itu. Akan tetapi apabila orang yang memberikan utang memberikan toleransi kepadanya dan rela atas penundaan pembayaran utangnya tersebut hingga selesai ibadah haji maka ia dibolehkan pergi menunaikan ibadah haji.

Sebaliknya apabila orang yang berutang tersebut tidak mendapatkan toleransi dari orang yang memberikannya utang atau tidak meyakini bahwa dirinya mampu melunasi utang-utangnya setelah ia berhaji maka tidak ada kewajiban atasnya untuk menunaikan ibadah haji. Hal itu dikarenakan melunasi utang-utang lebih utama baginya daripada pergi menunaikan ibadah haji dalam keadaan berutang.

Adapun utang yang pelunasannya baru terjadi pada masa yang akan datang yang pembayarannya diambil dari pemotongan gaji atau penghasilan tetapnya secara rutin setiap bulannya hingga utang tersebut terlunasi maka hal ini tidaklah menjadi penghalang baginya untuk menunaikan ibadah haji meskipun ia masih terus membayar utangnya tersebut setiap bulannya.

Akan tetapi apabila seorang yang berutang dengan cara diatas namun dikhawatirkan kepergiannya menunaikan ibadah haji akan menjadikannya mengabaikan atau menghambat pelunasan utangnya maka tidak ada kewajiban atasnya untuk berhaji kecuali apabila orang yang diutanginya itu memberikan toleransi kepadanya serta orang yang berutang tersebut meyakini bahwa dirinya tetap memiliki kesanggupan untuk melunasi utang-utangnya tersebut.

Dengan demikian apa yang dilakukan salah seorang anggota keluarga anda yang meminjam uang perusahaan untuk menunaikan ibadah haji dan baru terlunasi sesaat sebelum ia pergi berhaji maka hal itu tidaklah menjadi penghalang baginya untuk pergi menunaikan ibadah haji.

Suami Minta Istri Tetap Bekerja

Allah swt mewajibkan kepada seorang suami untuk memberikan nafkah, tempat tinggal, pakaian kepada isteri dan keluarganya sesuai dengan kesanggupan yang dimilikinya, sebagaimana firman Allah swt :

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)

وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233)

Adapun kewajiban seorang isteri adalah di rumahnya, melayani suami dan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik. Ia tidaklah berkewajiban mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun demikian islam tidaklah melarangnya apabila seorang isteri bekerja di luar rumah terlebih lagi apabila penghasilan suaminya dirasakan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dianggap sebagai sebuah sedekah bagi suami dan keluarganya dengan syarat bekerjanya di luar rumah tidak mengabaikan berbagai kewajiban asasinya di rumah terhadap suami dan anak-anaknya.

Seorang suami tidak diperbolehkan memaksa isterinya untuk bekerja atau tetap bekerja di luar rumah mencari nafkah dan penghasilan untuk keluarganya dikarenakan hal ini bukanlah kewajibannya kecuali apabila keadaan rumah tangganya memaksanya untuk bekerja, seperti : penghasilan suami yang tidak dapat menutupi kebutuhan minimal keluarganya, suami mengalami sakit yang berkepanjangan sehingga menghambatnya untuk mencari penghasilan, beban utang-utang keluarga yang harus dibayar secara rutin dan lain sebagainya.

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kewajiban memberikan nafkah, tempat tinggal dan pakaian ada diatas pundak suami sedangkan isteri dituntut untuk tidak meminta segala sesuatu diluar batas kemampuan suaminya. Seorang suami tidak diperbolehkan berlaku bakhil dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan ketika ia berbuat bakhil padahal dirinya memiliki kesanggupan berlebih maka diperbolehkan bagi isterinya untuk mengambil tanpa sepengetahuannya demi memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya Hindun binti Utbah berkata,”Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang bakhil. Ia tidak memberikanku sesuatu yang mencukupi diriku dan anak-anakku kecuali apa yang aku dambil darinya tanpa sepengetahuannya.’ Beliau saw bersabda,’Ambillah apa yang dapat mencukupi dirimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhori)

Jadi apabila yang dimaksud suami anda untuk tidak meminta yang macam-macam adalah tidak menuntut darinya segala sesuatu diluar kesanggupannya namun ia tetap memberikan hak-hak wajib anda sebagai isteri, seperti : nafkah, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dalam batas-batas kemampuannya maka permintaannya tersebut dibolehkan.

Akan tetapi apabila yang dimaksudnya adalah anda tidak boleh menuntutnya sama sekali termasuk hak-hak wajib anda sebagai istrinya walaupun dalam batas-batas kesanggupannya maka permintaannya itu tidak dibenarkan sebagaimana hadits Hindun diatas.

Namun ada baiknya semua hal tersebut dimusyawarahkan antara anda dan suami anda dengan melihat realita yang ada disekitar rumah tangga anda, seperti : kejenuhan anda bekerja, usia anak-anak yang sudah beranjak besar, cicilan KPR yang masih 11 tahun, asuransi anak-anak, kemampuan suami anda, prospek wiraswasta anda dan lainnya.

Dan hendaklah musyawarah tersebut dibarengi dengan melakukan shalat istikharah meminta petunjuk dan arahan dari Allah swt dalam mengambil keputusan tersebut, sebagaimana didalam sebuah ungkapan disebutkan “Tidaklah merugi orang yang bermusyawarah dan tidaklah menyesal orang yang melakukan shalat istikharah’

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Apa Hewan Masuk Surga?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum. wr. wb.

Ustadz, baru-baru ini saya kehilangan hewan peliharaan saya, yaitu kucing yang sangat saya sayangi seperti saudara saya sendiri. Yang ingin saya tanyakan adalah :

1. Apakah hewan yang pernah saya pelihara maupun hewan lainnya bisa masuk surga dan menikmati kenikmatan yang ada di surga ?

2. Jika tidak bisa, apakah doa saya agar hewan yang pernah saya pelihara maupun semua hewan yang pernah hidup di dunia ini agar dapat masuk ke surga baik bersama saya (InsyaAllah) atau tidak akan dikabulkan oleh Allah ?

Mohon jawabannya dari Ustadz dan saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Muhammad yang dimuliakan Allah swt, andai semua orang bersikap seperti anda yang menyayangi sesama makhluk Allah swt yaitu binatang tentu dunia ini tidak akan kehilangan keseimbangannya sebagaimana asal diciptakannya oleh Sang Maha Pencipta sehingga manusia terhindar dari berbagai musibah.

Lemah Lembut Terhadap Binatang

Islam adalah agama Allah swt yang memberikan perhatiannya kepada binatang bahkan beberapa surat didalam Al Qur’an dinamakan dengan nama binatang, diantaranya : al An’am (binatang ternak), an Nahl (lebah), an Naml (semut). Allah swt juga menceritakan secara khusus tentang pertemanan yang dijalin antara ashabul kahfi dengan seekor anjing dalam menentang kezaliman penguasa pada saat itu didalam surat al Kahfi.

Untuk itu islam memerintahkan para pemeluknya untuk memperlakukan binatang secara baik kecuali binatang-binatang yang membahayakan dirinya dan yang memang dibolehkan untuk dibunuh, seperti sabda Rasulullah saw,”Lima binatang berbahaya yang diperbolehkan membunuhnya dalam keadaan tidak berihrom atau berihrom yaitu ular, burung gagak, tikus, anjing gila, burung rajawali.” (HR. Muslim)

Perlakuan baik seseorang kepada seekor binatang bisa menjadi sarana untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt dan memudahkannya untuk mendapatkan surga-Nya, sebagaimana diceritakan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan disuatu jalan ia merasa sangat haus lalu ia mendapatkan sebuah sumur maka ia pun menuruninya dan minum darinya.

Tatkala keluar darinya dia mendapatkan seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya yang sedang mengunyah tanah basah karena hausnya. Orang itu berkata,’Sungguh apa yang dialami anjing ini berupa kehausan seperti apa yang barusan aku alami. Maka orang itu pun menuruni sumur dan memenuhi terompahnya dengan air kemudian membawanya ke atas dengan mulutnya dan diminumkannya kepada anjing itu. Allah berterimakasih kepadanya dan mengampuni dosanya. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah apakah didalam setiap binatang ternak itu ada pahala bagi kita?’ Beliau saw menjawab,’Di setiap yang memiliki hati yang lunak (kiasan untuk kehidupan, pen) ada pahala.” (HR. Bukhori)

Sebaliknya perlakuan yang kasar terhadap binatang bisa membawanya kepada murka dan neraka Allah swt, sebagaimana diceritakan pula didalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw bersabda,”Seorang wanita dimasukkan kedalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberikan makan bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada dilantai.” (HR. Bukhori)

Penyiksaan terhadap binatang tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat maka ini tidak diperbolehkan dengan cara apapun yang bisa menyakitinya, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Sesungguhnya tidaklah ada yang pantas melakukan penyiksaan dengan api kecuali Sang Pemilik api (Allah swt).” (HR. Abu Daud)

Adapun yang tidak termasuk didalam penyiksaan terhadap hewan adalah penyembelihan binatang-binatang yang memang sudah diciptakan Allah swt untuk dikonsumsi manusia dan membawa manfaat bagi mereka, seperti penyembelihan ayam, bebek, kambing, domba, sapi dan binatang ternak lainnya.

Dalam penyembelihan binatang ternak ini pun seseorang tetap diharuskan untuk melakukannya dengan baik dan menghindari hal-hal yang dapat membuatnya sengsara saat disembelih, seperti : diharuskan menajamkan pisau untuk menyembelihnya dan mengelus-elus leher binatang itu sebelum menaruhkan pisau diatasnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus ra dari Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah swt mentapkan kebaikan (ihsan) atas segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh (didalam peperangan) lakukanlah dengan baik. Jika kalian menyembelih lakukanlah dengan baik. Hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim)

Hewan Yang Ada di Surga

Hal ini termasuk didalam perkara-perkara yang ghaib sehingga diharuskan bagi kita untuk bersandar sepenuh kepada hadits-hadits shohih. Ketika memang terdapat didalam suatu hadits yang shohih maka kita menerimanya dan mengimaninya namun ketika hal itu tidak terdapat didalam hadits yang shohih maka kita berdiam diri dan menyerahkan perkara tersebut kepada Allah swt.

Dari beberapa berita tentang hewan-hewan yang ada di surga maka bisa dibagi menjadi tiga macam :
1. Hewan-hewan yang memang sudah dikhususkan bahwa mereka di surga, seperti : anjing Ashabul kahfi, onta Nabi Sholeh as, dan berita tentang ini tidaklah benar sedikit pun.

2. Binatang-bintang yang disebutkan didalam Al Qur’an dan Sunnah yang memang dipersiapkan Allah swt untuk orang-orang beriman di surga, baik yang secara tegas disebutkan didalam nash seperti : burung-burung yang disebutkan didalam firman-Nya,”Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqi’ah : 56) ataupun penyebutan secara umum, seperti firman Allah swt,”Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.” (QS. Ath Thuur : 22)

Yang lainnya adalah sapi jantan yang dipersiapkan Allah swt sebagai makanan untuk penduduk surga, sebagaimana yang diriwayatkan dari Tsauban budak Rasulullah saw berkata,”Aku berdiri disisi Rasulullah saw kemudian datang seorang alim dari Yahudi dan berkata,”Assalamu alaika wahai Muhammad.’ kemudian aku mendorongnya dengan satu dorongan karena seakan-akan ia ingin berkelahi… dia berkata,’Apa makanan mereka (penduduk surga) nanti ? beliau saw menjawab,’Akan disembelihkan bagi mereka sapi jantan surga dan mereka makan dari semua bagiannya. “ (HR. Muslim)

3. Apa yang disebutkan didalam sunnah yang shohih dari nash yang berbicara tentang sebagian hewan yang ada di surga, diantaranya :

a. Dari Abu Hurairoh ra berkata,” Rasulullah saw bersabda,’Shalatlah kalian di kandang kambing dan bersihkanlah tanahnya karena ia adalah binatang surga.” (HR. Baihaqi dan telah dishohihkan oleh al Albani dalam “Shohiul Jami’)

b. Dari Abi Mas’ud al Anshori berkata,”Telah datang seorang laki-laki dengan membawa seekor onta yang masih terkekang lehernya dengan pengikat dan berkata,’Ini untuk di jalan Allah.” Maka beliau saw bersabda,”Dikarenakan onta ini maka bagimu pada hari kiamat sebanyak tujuh ratus onta dan seluruhnya telah dikekang lehernyai.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi mengatakan,” .. ada yang menyebutkan : Maknanya bisa berarti pahala sebesar tujuh ratus ekor onta atau juga bisa berarti lahiriyahnya yaitu baginya di surga tujuh ratus yang setiap darinya masih dikekang lehernya, dia bisa mengendarainya kemana saja dia suka untuk membanggakannya, sebagaimana berita tentang kuda surga dan kemuliaannya. Ini kemungkinan yang terbesar. (Syarh an Nawawi 13/38)

c. Onta dan kuda sebagaimana disebutkan Nawawi :

Dari Abi Ayyub dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya penduduk surga saling berkunjung dengan mengendarai onta putih yang bagaikan yaqut (batu mulia). Tidak ada di surga sesuatupun dari binatang ternak kecuali onta dan burung.” (HR. Thabrani didalam al Kabir (4/179)

Diriwayatkan dari al Haitsami berkata,”Diriwayatkan oleh Thabarani dan didalamnya terdapat Jabir bin Nuh dan ia termasuk orang yang lemah.” (Majma’ Zawaid (10/413) al Albani juga melemahkannya didalam “Dhoiful Jami (1833)’

Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw dan mengatakan,”Wahai Rasulullah saw apakah di surga ada kuda? Beliau menjawab,’Sesungguhnya Allah swt memasukanmu ke surga dan engkau boleh membawa seekor kuda dari yaqut merah yang terbang bersamamu di surga kemana kamu suka.’ Dia berkata,’Ada seorang laki-laki bertanya,’Wahai Rasulullah apakah di surga ada onta?’dia berkata ,’Dia saw tidak mengatakan kepadanya seperti apa yang dikatakannya kepada temannya.’ Beliau bersabda,’Sesungguhnya Allah memasukkan kamu ke surga yang didalamnya segala yang menyenangkan dirimu dan melezatkan matamu.’ (HR. Tirmidzi (2543) an dihasankan oleh al Albani dalam ‘Shohih at Targhib’ (3/522)

Dan ada yang sejenis itu dari Abu Ayyub didalam riwayat Tirmidzi (2544) yang dishohikan oleh al Albani juga (3/423)

Juga disebutkan didalam hadits shohih bahwa arwah para syuhada berada di tembolok-tembolok seekor burung di surga yang keluar sekehendaknya.

Perlu diketahui bahwa burung-burung, kuda dan onta yang ada di surga tidaklah serupa dengan yang ada di dunia kecuali sebatas namanya saja. Adapun bagaimana sifat yang sebenarnya maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah swt. Adapun kita hanya mengetahui sebatas puncak keindahan dan keagunganya dikarenakan ia adalah bagian dari kenikmatan yang disediakan Allah swt untuk para walinya di surga. Untuk itu Nabi saw didalam hadits didepan mengisyaratkan bahwa kuda surga dari yaqut (batu mulia) merah terbang dengan pemiliknya kemana saja dia suka.”

Kita berharap semoga Allah swt memberikan kenikmatan kepada kita dan memasukkan kita semua ke surga dengan rahmat-Nya, sesungguhnya Dia lah Yang Maha Murah Pemberi dan Maha Mulia. (sumber : www.islam-qa.com)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Jin Pencuri Uang

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum ustad.

Orang tua angkat ane adalah seorang pegawai pos di sebuah kantor pos di cepiring, kendal jawa tengah.

Rumah dinasnya menyatu dengan kantornya. sudah dua tahun belakangan ini uang di kantor sering lenyap dengan tidak wajar. uang yg disimpan dari transaksi harian yg diletakkan didalam laci kantor pada sore harinya (jam tutup kantor), sudah dihitung dengan cermat berjumlah 10 juta, namun pada keesokan paginya uang itu setelah dihitung hanya berjumlah 7,5 juta.

Sering begitu tiap malamnya, hingga pada tahun kemaren saja (2008) orang tua saya menanggung rugi 50 juta. tahun 2007 juga lebih kurang sebanyak itu. bahkan walaupun letak uang dipindahkan kerumah sebelahnya tetap saja berkurang.

Memang, dari cerita2 yg berkembang di masyarakat sekitar itu, mereka banyak sekali yg mengatakan bahwa ada di antara penduduk sekitar itu yang memelihara jin dalam rangka mendapatkan kekayaan (pesugihan).

Saya mohon solusinya yang syar’ie ustad, sebab, kasihan orang tua saya bahkan kemaren sudah memanggil semacam paranormal2 yg notabenenya mempraktekkan syirik2 seperti itu.

Saya tunggu solusi dari ustad… JazakAllah…

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Okrisnaldi yang dimuliakan Allah

Semoga Allah memudahkan permasalahan yang sedang dihadapi orang tua angkat anda dan membimbingnya untuk selalu mencari solusi dengan cara-cara yang dibenarkan agama.

Jin memang bisa mencuri harta seseorang dari tempat penyimpanannnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh yang berkata,”Rasulullah saw menugaskanku untuk menangani zakat ramdhan. Ketika aku sedang melaksanakannya, seseorang datang dan mulai menggerayangi makanan sehinga aku membekuknya. Aku berkata’Demi Allah aku akan membawamu kepada Rasulullah saw!” orang itu memohon dengan sangat,’Sesungguhnya aku orang miskin dan aku mempunyai tanggugan. Aku sangat membutuhkan.’ Maka kubiarkan dia pergi.

Pagi berikutnya, Nabi saw berkata,’Wahai Abu Hurairoh, apa yang dilakukan tawananmu semalam?’ dia berkata,’Dia mengeluh sedang dalam keadaan membutuhkan dan punya keluarga maka saya membiarkannya pergi.’ Nabi saw mengatakan,’Sesungguhnya dia bohong kepadamu dan ia akan kembali.’ Karena aku tahu bahwa orang itu akan kembali, maka aku menunggu dia.

Ketika dia datang dan mulai mengumpulkan makanan, aku menyergapnya dan berkata,’Aku pasti akan membawamu kepada Rasulullah! Dia memohon dengan sangat,”Biarkan aku pergi!Sesungguhnya aku miskin dan aku benar-benar punya keluarga. Aku tidak akan kembali lagi.’ Maka aku kasihan padanya dan membiarkan dia pergi. Pagi berikutnya Rasulullah berkata,’Wahai Abu Hurairoh apa yang dilakukan tawananmu semalam? Aku katakan bahwa aku kasihan padanya dan membiarkannya pergi. Nabi saw berkata,’Sesungguhnya ia berbohong kepadamu dan dia akan kembali lagi.’

Maka aku menunggu dia dan menangkapnya ketika ia mulai menebarkan makanan. Aku berkata, ’Demi Allah, aku akan membawamu kepada Rasulullah. Ini adalah kali yang ketiga, dan engkau berjanji tidak akan kembali. Namun engkau kembali lagi!’ ia berkata, ‘Biarkan aku memberimu beberapa kalimat dengan itu Allah akan memberi keuntungan kepadamu.’ Aku mengatakan, ’Apa itu?’ Dia menjawab,’Bilamana engkau pergi tidur, bacalah ayat kursi dari awal hingga akhir. Jika engkau membacanya, seorang penjaga dari Allah akan mendampingimu dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.’ Kemudian aku membiarkannya pergi.

Pegi berikutnya Rasulullah saw berkata, ’Apa yang dilakukan tawananmu semalam?’ Aku menjawab, ’Ia mengajariku beberapa kalimat dengan itu Allah akan memberi keuntungan padaku, sehingga aku biarkan dia pergi.’ Ketika Nabi saw menanyakan kalimat apa itu, aku mengatakan kepadanya saw bahwa itu adalah ayat kursi untuk dibaca sebelum pergi tidur. Aku juga mengatakan pada beliau bahwa orang itu berkata bahwa seorang penjaga dari Allah akan mendampingiku dan setan tidak akan mendekatiku sampai aku bangun di pagi hari.’

Nabi saw berkata,’Sesungguhnya ia berkata benar, meskipun ia seorang pembohong yang terpaksa. Wahai Abu Hurairoh!tahukah kamu dengan siapa engkau berbicara pada tiga malam lalu itu?’ Aku menjawab,’tidak.’ Beliau saw menjawab,’Itu adalah jin dari golongan setan.” (HR. Bukhori)

Sebagai seorang muslim tidak sepatutnya mendatangi seorang paranormal yang menganggap bahwa dirinya bisa mengetahui berbagai kejadian yang ghaib dikarenakan hal ini dilarang oleh Rasulullah saw, didalam sebuah haditsnya disebutkan,”Barangsiapa yang mendatangi arrof dan tukang tenung kemudia orang itu membenarkan apa yang dikatakannya maka sungguh telah mengingkari apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad saw” (HR. Imam yang empat dan Hakim)

Al Baghowi mengatakan bahwa ‘arrof adalah orang mengaku bahwa dirinya mengetahui tentang berbagai permasalahan, maksudnya : bahwa arrof adalah orang yang memberikan informasi tentang berbagai kejadian seperti pencurian dan siapa pencurinya dan kehilangan dan dimana tempatnya. (Fathul Majid hal 285)

Sebagai seorang muslim yang telah bersyahadat haruslah berlindung hanya kepada Allah swt Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa dan tidak kepada selain-Nya didalam urusan-urusan yang tidak ada yang menyanggupinya kecuali Allah swt.

Yang harus orang tua angkat anda saat ini lakukan selain dari berbagai upaya manusia untuk tetap menjaga keamanan tempat penyimpanan uang tersebut baik dengan menguncinya secara rapat, meminta agar seorang menjaganya dan lainnya maka berbagai upaya untuk terus mendekatkan diri dan meminta perlindungan kepada Allah juga harus dilakukan, diantaranya :

1. Membiasakan untuk membaca ayat kursi setiap hari terutama apabila dia atau orang yang menjaganya hendak pergi tidur, seperti yang ditunjukkan hadits diatas.

2. Membiasakan untuk melakukan dzikir harian setiap pagi dan petang.

3. Memperbanyak membaca Al Qur’an terutama surat Al Baqoroh, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Jangan jadikan rumahmu seperti kuburan, sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang selalu dibacakan didalamnya surat Al Baqoroh.” (HR. Muslim)

4. Membaca al mu’awwidzatain (surat al Falaq dan an Naas), sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw biasa meminta perlindungan dari jin dan pandangan jahat sampai al muawwidzatain diturunkan. Ketika diturunkan, beliau menggunakannya dan meninggalkan yang selainnya.” (HR. Tirmidzi)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Bolehkah Ber”KB” dalam Islam

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum ww pak ustadz,

Saya (40th) sedang menanti kelahiran anak ketiga. Karena pertimbangan medis, anak pertama (11th) dan anak kedua (4,5th) lahir lewat operasi caesar. Kelahiran anak ketiga diharuskan lewat operasi juga (insyaAllah dijadwalkan tanggal 5 Februari 2009). Saya mengidap hipertiroid.

Selama kehamilan, saya sempat berkonsultasi dengan 3 dokter kandungan. Karena sudah tiga kali melahirkan dengan operasi, ketiga dokter tersebut menganjurkan saya agar tidak (boleh) hamil lagi dan berKB. Salah satu cara berKB yang jadi bahan pertimbangan adalah dengan cara tubektomi atau lebih dikenal dengan istilah steril.

Hanya saya ragu dengan cara KB ini, karena pernah mendengar pendapat yang mengatakan tubektomi itu hukumnya haram tetapi ada juga pendapat yang mengatakan hukumnya boleh. Bagaimanakah sebenarnya pandangan agama dalam hal ini pak ustadz?

Terimakasih.

Waalaikumussalam Wr Wb

Syari’at yang hanif menganjurkan untuk melahirkan anak-anak dan memperbanyak keturunan sehingga Nabi Syua’ib mengingatkan kaumnya akan nikmat ini, firman Allah swt

وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ

Artinya : “dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu.” (QS. Al A’raf : 86)

Didalam hadits yang diriwayatkan dari Ma’qol bin Yasar bahwasanya Nabi saw bersabda,”Nikahilah wanita-wanita yang pencinta dan bisa beranak banyak. Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya umatku dihadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Daud yang dishohihkan oleh al Bani)

Menghentikan kehamilan secara permanen itu mempunyai dua keadaan :

1. Apabila hal itu dikarenakan sesuatu yang darurat seperti telah dinyatakan oleh dokter yang bisa dipercaya bahwa kehamilannya akan bedampak pada kematian ibu dan pengobatan terhadapnya sudah tidak mungkin lagi dan diputuskan bahwa penghentian kehamilan secara totral adalah solusi dari bahaya tersebut maka diperbolehkan saat itu untuk menghentikan kelahiran secara total.

2. Apabila hal itu bukan dikarenakan sesuatu yang darurat maka tidak disangsikan lagi bahwa perbuatan itu merupakan kejahatan dan dosa besar karena dia dianggap sebagai penganiayaan terhadap makhluk Allah tanpa suatu sebab, menghentikan keturunan yang begitu dicintai Nabi saw serta tidak bersyukur terhadap nikmat seorang anak yang dianugerahkan Allah kepada makhluknya.

Disebutkan didalam ‘al Inshof” ; dia berkata didalam “al Faiq”,”Tidak dibolehkan menghentikan kehamilan.” (1/383)

Lembaga Fiqih Islam dalam keputusannya no 39 (1/5) adalah sebagai berikut :
“Diharamkan memusnahkan kemampuan untuk melahirkan baik pada laki-laki maupun perempuan, yaitu apa yang dikenal dengan vasektomi atau tubektomi selama tidak ada sesuatu yang darurat menurut standar-standar islam…..

Dibolehkan pengaturan secara temporer dalam kelahiran dengan maksud menjarangkan kehamilan atau menghentikannya untuk beberapa waktu tertentu apabila kebutuhan yang dibenarkan syari’ah menuntut hal demikian sesuai dengan kesanggupan suami isteri melalui musyawarah dan keredhoan diantara keduanya dengan syarat tidak membawa kepada kemudharatan serta dengan cara yang disyariatkan dan tidak membahayakan bagi kehamilannya nanti.”

Kalau begitu, apabila penghentian kehamilan yang anda lakukan karena sesuatu yang darurat lagi mendesak maka tidak ada dosa bagi anda untuk melakukannya. Adapun bukan untuk sesuatu yang darurat maka anda telah jatuh kedalam yang haram maka anda harus bertaubat dengan taubat nashuha kepada Allah swt dan segera menghentikannya…
(sumber : www.islamqa.com)

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Pria Memakai Cincin Emas Putih

$
0
0

sigitAssalamu alaikum ustadz…

Saya ingin bertanya, bolehkan laki-laki memakai perhiasan emas putih? misalnya cincin.

Saya pernah dengan bahwa laki-laki tidak boleh memakai perhiasan emas. Akan tetapi, setau saya emas putih itu bukan logam emas (Aurum). JAdi apa boleh dipakai?

Terima kasih atas jawabannya

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Febrina yang dimuliakan Allah swt

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menceritakan tentang kekecewaan seorang ibu ketika ia hendak menikah. Pada saat itu ia berfikir untuk membelikan emas putih untuk calon suaminya sebagai cincin perkawinan mereka di sebuah toko emas.

Ternyata selang beberapa lama setelah menikah emas putih itu terlihat memudar dan lama kelamaan menjadi kuning dan mulailah ia menyadari bahwa emas putih yang dia harapkan sebelumnya adalah platina ternyata ia hanya emas kuning biasa yang disepuh dengan bahan tertentu sehingga tampak putih.

Dari kisah tersebut maka perlu dibedakan antara emas putih dan platina. Apabila emas putih yang dimaksud adalah emas kuning (Aurum) yang dicampur dengan unsur-unsur logam putih, seperti nikel, palladium sehingga merubah warna aslinya dari kuning menjadi putih maka hukum mengenakan ‘emas putih’ ini bagi seorang laki-laki adalah haram dikarenakan penyepuhan tersebut tidaklah menghilangkan zat aslinya yaitu emas kuning (Aurum), sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw melihat sebuah cincin dari emas ditangan seorang laki-laki maka beliau saw pun melepas dan membuangnya. Dan beliau saw bersabda,”Salah seorang diantara kalian sengaja menginginkan bara api dari neraka dengan mengenakannya (cincin emas) ditangannya.’ Kemudian dikatakan kepada laki-laki itu setelah Rasulullah saw pergi,’Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah.’ Orang itu berkata,’Tidak, demi Allah aku tidak akan mengambilnya selama-lamanya, sesungguhnya Rasulullah saw telah membuangnya.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa dari umatku mengenakan emas kemudian dia mati masih dalam keadaan mengenakannya maka Allah mengharamkan baginya emas di surga. Dan barangsiapa dari umatku yang mengenakan sutera kemudian dia mati masih dalam keadaan mengenakannya maka Allah mengharamkan baginya sutera di surga.” (HR. Ahmad)

Pengharaman ini khusus bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ali bahwasanya Nabi saw mengambil sebuah sutera dan menjadikannya di sebelah kanannya dan mengambil sebuah emas dan menjadikannya di sebelah kirinya kemudian beliau saw bersabda,”Sesungguhnya kedua jenis ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku.” (HR. An Nasai dan Abu daud) demikian juga sabdanya saw,”Dihalalkan (mengenakan) sutera dan emas bagi kaum wanita dari umatku dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya.” (HR. Ahmad)

Jadi emas warna apa pun, baik putih, merah atau yang lainnya selama ia hanyalah sepuhan yang dilakukan pada emas kuning maka hukumnya haram bagi laki-laki untuk dikenakan.

Adapun apabila emas putih yang dimaksudkan adalah platina maka ia tidaklah termasuk dalam golongan emas (Aurum). Ia memang termasuk kategori logam yang mahal bahkan ada yang mengatakan bahwa harganya 4 – 5 kali lebih mahal daripada emas. Dengan demikian diperbolehkan bagi kaum pria untuk mengenakannya dikarenakan tidak ada dalil-dalil syariat yang menunjukkan pengharamannya terhadap laki-laki.

Penamaan masyarakat selama ini bahwa platina adalah emas putih tidaklah menjadikannya haram karena ia hanyalah sebatas penamaan yang pada hakekatnya ia bukanlah emas, sebagaimana mahalnya harga platina juga tidak menjadikannya haram untuk dikenakan oleh kaum laki-laki.

Sedangkan tentang cincin kawin dalam pandangan islam bisa dilihat pada rubrik ini dengan judul “Hukum Cincin Kawin”.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Hukum Berqurban dan Menikmati Dagingnya

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr.Wb.

Ustadz yang dilindungi Allah SWT… saya mau bertanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kurban, baik itu yang sunnah atau tata cara maupun syarat-syarat untuk berkurban… Dan satu lagi, apa hukumnya jika kita berkurban dan meminta 1/3 bagian dari kurban itu sendiri….

atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih…

Wassalam….

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Berkurban
Ibadah menyembelih hewan kurban ini adalah sunnah muakkadah (tidak ada dosa bagi orang yang tidak melaksanakannya) menurut para ulama diantaranya Imam Malik dan Syafi’i. Dan diantara dalil-dalil mereka adalah :

1. Firman Allah swt,”Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS Al Kautsar : 2)
2. Sabda Rasulullah saw,”Jika kalian telah melihat bulan dzulhijjah, hendaklah salah seorang diantara kalian berkurban..”(HR. Muslim)
3. Riwayat dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melaksanakan penyembelihan kurban untuk keluarganya karena takut dianggap sebagai suatu kewajiban. (Fiqhus Sunnah, edisi terjemah juz IV hal 294)

Tata Cara dan Syarat-syarat Kurban

Adapun tata cara penyembelihan hewan kurban sebagai berikut :

1. Mengucapkan nama Allah swt, firman-Nya,”Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am : 118) Didalam Shohihain disebutkan bahwa Rasulullah saw menyebut bismillahirrohmanirrohim saat menyembelih kurbannya.

2. Shalawat atas Nabi saw sebagaimana disebutkan Imam Syafi’i… Allah swt mengangkat penyebutannya saw dan tidaklah disebutkan nama Allah kecuali dengan disebutkan juga namanya saw.

3. Menghadapkan sembelihan kearah kiblat, dikarenakan kiblat adalah arah terbaik dan Rasulullah saw menghadapkan sembelihannya ke arah kiblat saat menyembelih.

4. Mungucapkan takbir sebagaimana riwayat dari Anas bahwa Rasulullah saw menyembelih dua ekor gibas yang baik dan bertanduk dengan tangannya sendiri yang mulia dengan menyebut nama Allah dan bertakbir.” (HR. Bukhori Muslim)

5. Berdoa, disunnahkan mengucapkan,”Allahumma minka wa ilaika fataqobbal minniy.—Ya Allah ini dari Engkau dan kembali kepada-Mu maka terimalah kurban dariku ini” maksudnya adalah nikmat dan pemberian dari-Mu dan aku mendekatkan diriku kepada-Mu dengannya. Berdasarkan dalil bahwa Rasulullah saw berkata saat menyembelih dua gibas itu,”Allahumma taqobbal min Muhammadin wa aali Muhammadin.” (Kifayatul Akhyar juz II hal 148)

Ada juga yang mengatakan disunnahkan mengucapkan,”Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathoros samawati wal ardho haniifan wama ana minal musyrikin, Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi robbil ‘alamin, laa syariika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimin.” dan tatkala mengelus-elusnya haruslah mengucapkan basmalah dan takbir,”bismillah wallahu akbar Allahumma hadza minka wa laka.” (Minhajul Muslim hal 236)

Sabda Rasulullah saw,”Wahai Fatimah, bangkitlah dan saksikanlah penyembelihan hewan qurbanmu! Sesungguhnya sejak tetes darah pertama qurbanmu, Allah swt telah mengampuni dosa yang kamu perbuat. Katakanlah, Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi robbil ‘alamin, laa syariika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimin. ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku hanya umtuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama dari orang-orang yang pertama dari orang-orang yang menyerahkan diri kepada-nya.” (HR al Hakim)

Sedangkan syarat-syarat kurban adalah :

1. Usianya; hewan kurban yang berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun, dan unta berumur lima tahun. Semua hewan itu tidak dibedakan apakah jantan atau betina. Hal itu berdasarkan dalil-dalil berikut.

a. Riwayat dari Uqbah bin Amir, ia berkata,”Aku bertanya kepada Rasulullah,’Wahai Rasulullah saw aku memiliki jadza’ kemudian Rasulullah saw menjawab,’Berkurbanlah dengannya.” (HR. Bukhori dan Muslim). Jadza’ menurut Abu Hanifah adalah kambing/domba yang berumur beberapa bulan, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kambing yang berumur satu tahun, inilah yang paling shohih.

b. Sabda Rasulullah saw,”Janganlah kalian berkurban kecuali yang telah berumur satu tahun ke atas. Jika hal itu menyulitkanmu maka sembelihlah jaza’ kambing.” (QS. Muslim) –(Fiqhus Sunnah edisi terjemah juz IV hal 294 – 295)

2. Tidak ada cacat (aib) pada hewan kurban seperti, picak matanya, pincang, patah tanduknya, terpotong kupingnya, tidak sakit, tidak terlalu kurus, berdasarkan sabda Rasulullan saw,”Empat jenis jenis hewan yang tidak boleh dikurbankan : Yang tampak jelas picak matanya, yang tampak jelas penyakitnya, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali.” (QS. Tirmidzi)

3. Yang paling utama dari hewan kurban adalah gibas (domba) yang kuat, bertanduk dan berwarna putih kehitam-hitaman disekitar kedua matanya dan juga di badannya, berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw menyembelih hewan yang seperti itu. Aisyah ra mengatakan,”Sesungguhnya Nabi saw pernah berkurban seekor gibas yang bertanduk ada warna hitam di badannya, ada warna hitam di kakinya dan ada warna hitam di kedua matanya.” (QS. Tirmidzi) Tentunya ini adalah yang paling utama dan bukan berarti hewan yang akan dikurbankan harus seperti ini, karena hal itu pasti menyulitkan bagi setiap orang yang ingin berkurban.

Hukum Meminta Sepertiga Daging

Orang yang berkurban disunnahkan untuk memakan dagingnya, membagikannya kepada karib kerabat, serta menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Makanlah olehmu, simpanlah dan sedekahkanlah.” (HR. Tirmidzi)

Jadi dari hadits tersebut bisa disimpulkan bahwa diperbolehkan bagi orang yang berkurban untuk meminta yang sepertiga karena memang itu menjadi hak atau bagian untuknya atau menyedekahkan seluruhnya tanpa mengambil bagian sedikitpun darinya.
Wallahu A’lam

- Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki sebuah karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC, silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Perlukah Berbaiat bila Ikut Pengajian?

$
0
0

sigitAssalaamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, Ana ingin tahu mengenai masalah berbai’at. Ana mendapat cerita dari beberapa rekan bahwa beliau diminta berbai’at ketika melakukan pengajian. Berhubung beliau masih ragu, yang seorang ikut dan yang seorang lagi langsung meninggalkan (keluar) dari pengajian tersebut.

Apakah saat sekarang ini kita harus, sunat atau wajib berbai’at? Mohon penjelasan ustadz mengenai dalil berbai’at ini.

Terima Kasih

Wassalam

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Baiat menurut Ibnu Kholdun adalah berjanji untuk taat, yaitu seorang berjanji setia kepada pemimpinnya dan menyerahkan pandangan kepadanya dalam permasalahan dirinya dan kaum muslimin, tidak menyalahinya dalam urusan apapun serta mentaatinya dalam hal-hal yang disanggupinya baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Apabila mereka yang mau membaiat pemimpinnya, maka mereka meletakkan tangan-tangan mereka di atas tangannya sebagai penegasan janji, persis seperti yang dilakukan antara seorang penjual dengan pembeli, yaitu dengan saling menjabat-tangan.” (Muqoddimah Ibnu Kholdun juz I hal 108)

Baiat ini disyariatkan di dalam Islam berdasarkan dalil-dalil berikut :

  1. Firman Allah swt, “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka .dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al Mumtahanah : 12)
  2. Hadits Rasulullah saw,”Dari Utsman bin Khoitsam bahwasanya Muhammad bin al Aswad bin al Kholaf memberitahu bahwa ayahnya al Kholaf ra. menyaksikan Rasulullah saw membaiat manusia pada hari pembebasan Mekah maka manusia pun membaiatnya untuk islam.” (HR. Ahmad)

Macam-macam baiat di masa Rasulullah saw dan para sahabat :

  • Baiat masuk islam yang mengharuskan seseorang untuk tunduk kepada berbagai hukum islam.
  • Baiat meminta perlindungan seperti yang dilakukan saat baiat di hari Aqobah yang ketika itu beliau saw mengambil baiat dari kaum Anshor dalam rangka melindunginya sebagaimana mereka melindungi para istrinya.
  • Baiat untuk tidak lari dari medan pertempuran seperti baiat Ridhwan.
  • Baiat yang diberikan kepada Amirul Mukminin untuk mendengar dan taat kepadanya dalam rangka mendengar dan taat kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
  • Baiat dalam bentuk ikatan janji untuk melakukan suatu amal, seperti ikatan janji yang dilakukan oleh para mujahidin di perang Yarmuk.

Selanjutnya di dalam masyarakat islam dikenal dengan dua jenis baiat :

  1. Baiat kepada penguasa muslim untuk mendengar dan taat.
    Baiat ini pada asalnya tidak boleh diberikan kecuali kepada seseorang, yakni Amirul Mukminin. Sabda Rasulullah saw, “Apabila baiat diberikan kepada dua orang khalifah, maka bunuhlah yang kedua.” (HR. Muslim)
  2. Baiat kepada Syeikh untuk bertaqwa, pada awalnya baiat ini dilakukan kaum sufi bahkan menjadi ciri khasnya.

Akan halnya baiat untuk melakukan amal shalih, maka seseorang boleh mengambilnya dari siapapun. Keduanya tidak lalu terikat secara individu.

Demikianlah dinyatakan oleh para ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi : “seseorang memberikan perjanjian (baiat) baiat kepada syeikh. Di saat yang bersamaan dia memberikan baiat kepada Syeikh yang lain. Dari dua perjanjian itu manakah yang mengikat? Mereka menjawab bahwa tidak ada satu pun yang mengikutnya. Hal itu tidak berdasar.”

Berdasarkan keterangan ini maka setiap baiat yang diterima oleh para syeikh dari para muridnya atau yang diterima para pemimpin dari pengikutnya tidaklah bersifat mengikat….

Zaman sekarang tahta khilafah telah tiada. Para Fuqoha madzhab Syafi’i telah menulis bahwa dalam keadaan seperti ini hukum khilafah diberikan kepada orang yang paling alim di zamannya. Sementara madzhab Hanafi berprinsip bahwa seseorang tidak dianggap khalifah kecuali setelah seluruh perintahnya dipatuhi, yakni setelah kekuasaan eksekutif dimiliki. Sebelum hal ini terwujud, maka baiat yang diakui hanyalah baiat amal. (Membina Angkatan Mujahid, Said Hawwa, hal. 131– 132)

Ketidak-beradaan kholifah kaum muslimin menjadikan baiat tidaklah wajib dilakukan oleh setiap muslim namun demikian baiat (amal) ini perlu dilakukan oleh seseorang yang ingin beramal islami memperjuangkan islam dan kaum muslimin sebagai peneguhan dan bentuk keseriusan.

Dalam keadaan sekarang ini hendaklah seseorang  memahami secara baik kepada siapa dia berabaiat, artinya hendaklah baiat tersebut dilakukan atas dasar ilmu dan pemahaman tidak atas dasar emosional atau hawa nafsu.

Hendaknya ia mempelajari terlebih dahulu secara baik tentang jamaah yang dipimpin oleh orang yang akan dibaiatnya: bagaimana aqidahnya? Adakah hal-hal penyimpangan di dalamnya? Bagaimana prinsip-prinsip da’wahnya? Apa tujuan da’wahnya? dan lain-lain. Sehingga tidak memunculkan penyesalan di akhir dikarenakan kekurang-jelian dalam melihat dan mempelajari jamaah yang akan diikutinya.

Ketika seseorang memberikan baiatnya kepada seorang pemimpin dalam suatu jamaah maka ia diharuskan mentaati dalam amal-amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Namun ketaatan tersebut bukanlah ketaatan yang tanpa ilmu (taqlid) karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya haruslah di atas dari ketaatan kepada yang lainnya. Karena baiat ini adalah baiat amal maka tidak ada keterikatan antara seorang pengikut dengan pemimpinnya, sebagaimana penjelasan di atas.
Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…


Kewajiban dan Sikap Seorang Ayah di Keluarganya

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum Wr wb Ustadz…

Sebagai seorang kepala Rumah Tangga, bagaimana sikap yang baik seorang suami kepada isterinya, sikap seorang bapak kepada anak-anaknya, seorang suami kepada keluarga yang dipimpinnya.

Wa’alaikumsalam wr wb

Semoga Allah swt menjadikan keluarga anda dan kita semua keluarga islami yang penuh dengan kedamaian, saling mencintai dan menyayangi sehingga bisa minjadi miniatur surga bagi kita di dunia sebelum surga yang sesungguhnya di akherat nanti, Amin

Allah swt berfirman : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An Nisa : 34)

Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa seorang laki-laki apakah ia sebagai suami bagi istrinya atau ayah bagi anak-anaknya adalah pemeran utama dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah.

Untuk itu ia perlu mengetahui berbagai kewajiban dan haknya terhadap keluarganya. Saya coba menggabungkan tiga pertanyaan anda dengan dua jawaban sekaligus karena—menurut saya—pertanyaan yang terakhir sudah termasuk didalam dua pertanyaan sebelumnya.

Untuk menjawabnya, saya ringkaskan tulisan Ustadz Abu Bakar al Jaziry dalam bukunya “Minhajul Muslim” :

  1. Kewajiban suami terhadap isteri :
    a.Menggaulinya dengan baik
    Firman allah swt : “Dan gaulilah mereka secara patut. “ (QS. An Nisa : 19) Demikian pula hadits Rasulullah saw : “Berilah dia (istrimu) makan jika kamu makan, berilah dia pakaian jika kamu berpakaian, janganlah memukul wajahnya, janganlah menghinanya dan janganlah memarahinya kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu daud)b.Mengajarkan prinsip-prinsip islam kepadanya atau mengizinkannya datang ke majlis-majlis ilmu untuk memenuhi kebutuhannya dalam memperbaiki kualitas agama dan membersihkan ruhiyahnya. Firman Allah swt : “Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim : 6)c.Mengajarkan adab-adab islam.
    Hadits Rasulullah saw : “Seorang laki adalah pemimpin didalam keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya. “ (Muttafaq alaih)

    d.Jika ia seorang suami yang berpoligami maka dia harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam pemberian makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam dan tidak menzhalimi mereka, sebagaimana firman Allah swt : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kau miliki. “ (QS. An Nisa : 3)

    e.Tidak menyebarluaskan rahasia dan aibnya di tempat tidur kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia disisi Allah adalah seorang suami yang mengetahui aib isterinya dan isteri yang mengetahui aib suaminya kemudian menyebarluaskannya. “ (Muttafaq alaih)

  2. Kewajiban ayah kepada anak-anaknya :
    a.Memilihkan bagi mereka ibu yang baik.
    b.Memberikan nama yang baik.
    c.Mengaqiqahkannya pada hari ketujuh kelahirannya.
    d.Mengkhitannya.
    e.Menyayanginya serta bersikap lemah lembut terhadapnya.
    f.Memberikan nafkah kepadanya.
    g.Memberikan kepadanya pendidikan yang baik.
    h.Mengajarkannya adab-adab islam.
    i.Melatihnya untuk terbiasa menunaikan kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah islam.
    j.Menikahkannya dengan pasangan yang baik.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Bedanya Masjid dan Mushola

$
0
0

sigitAssalamualaikum wr.wb

Semoga ustadz senantiasa diberkati allah swt

Saya ingin menanyakan tentang perbedaan masjid dan musholla, apakah hanya perbedaan istilah saja dan kalau ada perbedaan apakah shalat sunnah tahiyatul masjid hanya untuk di masjid saja?

Terima kasih

Wassalamualaikum wr. wb

Waalaikumussalam Wr Wb

Tentang perbedaan antara masjid dan musholla ini Syeikh Utsaimin mengatakan bahwa secara umum seluruh bumi ini adalah masjid, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Telah dijadikan buatku bumi ini sebagai masjid dan tempat yang suci.”

Adapun makna secara khusus dari masjid adalah tempat yang dipersiapkan selamanya untuk sholat dan kemudian dikususkan lagi baik yang dibangun dengan menggunakan batu, tanah, semen ataupun yang belum dibangun.

Adapun musholla adalah tempat yang dipersiapkan tidak selalu untuk sholat. Seorang bisa sholat di situ jika tiba-tiba ia mendapatkan waktu sholat. Dan tempat ini tidak disebut dengan masjid.

Dalil dari itu adalah bahwa Rasulullah saw pernah melaksanakan sholat-sholat sunnah di rumahnya. Dan tempat yang dipakai untuk sholat itu tidaklah disebut masjid. Demikian pula ketika ‘Itban bin Malik mengajaknya saw untuk sholat di salah satu bagian di rumahnya yang dijadikannya untuk tempat sholat, ini pun tidak disebut dengan masjid. (www.roqyah.com)

Jadi musholla adalah tempat yang tidak dikhususkan untuk sholat saja, seperti halnya musholla di rumah-rumah yang terkadang digunakan untuk sholat keluarga, dengan teman dan terkadang untuk belajar, menyambut tamu atau untuk aktivitas lainnya. Ini berarti juga bahwa seorang wanita yang sedang haidh atau nifas diperbolehkan masuk dan menetap di tempat seperti ini dan tidak diperlukan adanya sholat tahiyat masjid di sini.

Sedangkan masjid adalah tempat yang dikhususkan untuk sholat saja yang berarti disunnahkan bagi setiap orang yang memasukinya untuk melaksanakan sholat tahiyat masjid dan tidak boleh seorang wanita yang sedang haidh maupun nifas memasuki atau menetap di dalamnya. Termasuk dari masjid adalah bagian-bagian yang bersambung dengan ruangan masjid apabila memang bagian itu juga dipakai khusus untuk sholat.

Adapun Masjid Jami’ adalah masjid yang tidak hanya dipakai untuk melaksanakan sholat-sholat fardhu’ namun ia juga dapat mengumpulkan masyarakat untuk melaksanakan sholat jum’at.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Berkurban Atas nama Anak

$
0
0

sigitAssalamualaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz,

Mohon penjelasan/ pencerahannya untuk beberapa pertanyaan mengenai aturan ber-Qurban dibawah ini ;

1. Bolehkah kita ber-Qurban dengan mengatasnamakan seseorang yang sudah meninggal?

2. Bolehkah kita ber-Qurban dengan mengatasnamakan anak yang belum akil baliq?

3. Bolehkah kita ber-Qurban dengan mengatasnamakan seseorang yang masih hidup namun beliau tidak mengetahui masalah ini sama sekali? Dari suatu literatur yang pernah saya baca mengatakan masalah ini justru Makruh hukumnya dan menganjurkan kita yang berniat mengatasnamakan, justru memberikan dananya kepada yang dimaksud, terserah mau di-Qurbankan atau tidak?

4. Bagaimana hukumnya apabila ber-Qurban dalam satu keluarga hanya 1 Qurban setiap tahun dengan mengatasnamakan bergiliran pada anggota keluarga padahal keluarga itu mampu untuk berqurban lebih dari 1 ?

Terimakasih untuk penjelasannya Pak Ustadz, semoga hal ini dapat meluruskan asumsi2 yang salah selama ini. Amin

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Kurban untuk Orang yang Sudah Meinggal
Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim) Kurban seseorang yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal ini bisa disamakan dengan sedekah.

Imam Nawawi menyebutkan didalam Syarhnya,”Doa yang dipanjatkan, pahalanya akan sampai kepada orang yang sudah meninggal demikian pula sedekahnya dan kedua hal tersebut adalah ijma para ulama.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)

Imam Nawawi juga mengatakan didalam Syarhnya, ”Para ulama telah sependapat bahwa doa seseorang kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepadanya demikan pula halnya dengan sedekah yang ditujukan kepada orang yang meninggal, pahalanya akan sampai kepadanya dan tidak mesti orang itu harus anaknya. (Al Majmu’ juz XV hal 522, Maktabah Syamilah)

Para ulama telah bersepakat bahwa sedekah seseorang kepada orang yang telah meninggal akan sampai kepadanya, demikian pula ibadah-ibadah harta lainnya, seperti membebaskan budak. Adapun perselisihan dikalangan para ulama adalah pada masalah ibadah badaniyah, seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an dikarenakan adanya riwayat dari Aisyah didalam shohihain dari Nabi saw,”Barangsiapa yang meninggal dan masih memiliki kewajiban puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuknya.” (Majmu’ Fatawa juz V hal 466, Maktabah Syamilah)

Dalil lain yang juga digunakan oleh para ulama didalam membolehkan kurban bagi orang yang meninggal adalah firman Allah swt,”dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir juga menyelipkan sabda Rasulullah saw,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim) dan dia mengatakan,”Tiga golongan didalam hadits ini, sebenarnya semua berasal dari usaha, kerja keras dan amalnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,’Sesungguhnya makanan yang paling baik dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya seorang anak adalah hasil dari usaha (orang tua) nya.” (Abu Daud, Tirmidzi, an Nasai dan Ahmad) Dan sedekah jariyah seperti wakaf dan yang sejenisnya adalah buah dari amal dan wakafnya.

Firman Allah swt.”Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasiin : 12) –(Tafsir Ibnu Katsir juz VII hal 465, Maktabah Syamilah)

Jadi dibolehkan bagi seseorang berkurban bagi orang yang sudah meninggal terlebih lagi jika orang yang sudah meninggal tersebut masih ada hubungan kerabat dengannya.

Kurban Mengatas-namakan Anak yang Belum Akil Baligh

Kurban merupakan ibadah yang dibebankan kepada mereka yang mukallaf yaitu berakal, baligh, dan memiliki kesanggupan sebagaimana umumnya suatu ibadah. Sedangkan anak yang masih kecil yang belum sampai pada usia mukallaf tidaklah terkena beban menyembelih hewan kurban namun jika orang tuanya berkurban mengatas-namakan anaknya itu maka sah.

Sesungguhnya Nabi saw telah menyembelih seekor kambing bagi dirinya saw dan anggota keluarganya dan ini sah sebagaimana pendapat yang masyhur dari para ulama. Ini adalah pendapat Malik, Ahmad dan yang lainnya, dan para sahabat juga melakukan hal yang demikian. Terdapat riwayat bahwa Nabi saw pernah menyembelih dua ekor domba dan mengatakan saat menyembelih salah satunya :”Ya Allah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad.” (Majmu’ Fatawa juz VI hal 181 Maktabah Syamilah)

Berkurban untuk Orang yang Masih Hidup

Dari sebuah hadits yang diirwayatkan dari Jabir berkata,”Aku pernah sholat bersama Rasulullah saw saat Idul Adha. Tatkala selesai (sholat) beliau saw membawa seekor domba dan menyembelihnya sambil mengucapkan,’Bismillah wallohu akbar, Ya Allah ini buatku dan buat orang-orang yang belum melakukan kurban dari umatku.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Rofi’ bahwa Rasulullah saw apabila ingin berkurban beliau membeli dua ekor domba gemuk yang memiliki dua buah tanduk yang bagus. Tatkala selesai sholat dan khutbah untuk manusia maka dia membawa salah satunya dan berdiri di tempat sholatnya serta menyembelihnya dengan tangannya sendiri dengan memakai pisau kemudian mengucapkan, ”Ya Allah ini untuk seluruh umatku yang telah bersaksi bahwa Engkau Maha Esa dan bersaksi bahwa aku saw telah menyampaikan (risalah-Mu). Setelah itu dia membawa domba yang lainnya dan memotongnya sendiri sambil mengatakan,’Ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad.” Seluruh orang miskin makan dari kedua domba itu, begitu juga beliau saw dan keluarganya.” (HR. Ahmad)

Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw berkurban mengatas-namakan diri, anggota keluarga dan seluruh umatnya. Beliau saw tidak merinci tentang umatnya didalam hadits tersebut artinya adalah umatnya secara umum, baik mereka yang sudah meninggal atau yang masih hidup, baik mereka yang hadir bersama Rasulullah saw saat penyembelihan atau yang tidak hadir, baik mereka yang hidup pada masa beliau saw atau termasuk juga mereka yang hidup setelah masa Nabi saw.

Adapun manakah yang terbaik, apakah berkurban mengatas-namakan orang itu walaupun dia tidak mengetahui atau memberikan dana seharga hewan kurban kepadanya kemudian terserah yang bersangkutan memperlakukan uang itu mau digunakan untuk kurban atau yang lainnya?

Ada diantara ulama termasuk asy Sya’bi, Malik serta Abu Tsaur menganggap bahwa bersedekah dengan uang sejumlah harga hewan kurban lebih utama daripada menyembelihnya, berdasarkan sebuah riwayat dari Bilal bahwasanya beliau mengatakan,”Aku tidaklah perduli, ketahuilah bahwa aku berkurban dengan seekor ayam.”

Pendapat yang paling tepat adalah bahwa berkurban lebih utama daripada bersedekah dengan uang seharga hewan kurban dikarenakan hal itu adalah sunnah muakkadah dan telah ditunjukkan oleh berbagai dalil. Kalaulah terdapat beberapa riwayat dari sebagian sahabat atau salafush sholeh bahwa mereka pernah membeli sekerat daging dan berkurban dengannya, ini bukan berarti bahwa daging tersebut sudah cukup untuk kurban atau pahalanya seperti pahala kurban…Adapun maksud dari itu adalah memperkenalkan kepada manusia bahwasanya berkurban itu tidaklah wajib akan tetapi sunnah yang berisfat pilihan.

Ikrimah mengatakan,”Ibnu Abbas ra pernah menyuruhku pada hari Idul Adha dengan membawa dua dirham lalu aku membelikannya sekerat daging untuknya.” (beliau) berpesan bahwa apabila orang yang bertemu denganmu menanyakannya maka jawablah,’Ini adalah kurbannya Ibnu Abbas.’ (Tafsir Qurthubi). Dan bahwasanya apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan dari Ikrimah serta Umar tentang hal itu bertujuan bahwa kurban tidaklah perlu dilakukan secara terus-menerus sehingga orang-orang awam tidak berkeyakinan bahwa hal itu wajib yang harus dilakukan. (Majmu’ Fatawa juz IX hal 313, Maktabah Syamilah)

Jadi berkurban bagi orang yang masih hidup walaupun dia tidak mengetahuinya saat disembelihkan hewan kurban untuknya lebih baik daripada menyedekahkan sejumlah uang seharga hewan kurban kepadanya untuk kemudian terserah dirinya dalam penggunaannya, bisa untuk berkurban atau selainnya.
Diperbolehkan bagi seseorang yang ingin berkurban untuk orang lain kemudian menyerahkan kepadanya sejumlah uang seharga hewan kurban itu tapi tetap meminta kepadanya untuk membelikannya hewan kurban dan disembelih pada waktu-waktu kurban, sehingga sasaran dari ibadah kurban akan terpenuhi. Namun jika ia memberikan kepadanya sejumlah uang seharga hewan kurban kemudian mempersilahkan kepadanya untuk memperlakukan uang itu sekehendak hatinya walaupun tidak untuk kurban maka ada kemungkinan dia akan menggunakannya untuk selain kurban. Dan jika ini terjadi maka sasaran dari kurban tidak akan terpenuhi karena kurban adalah mengucurkan darah sembelihan.

Kurban Sekali Setiap Tahun Padahal Mampu

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jumhur fuqoha berpendapat bahwa penyembelihan hewan kurban ini adalah sunnah muakkadah yang berarti tidaklah berdosa orang yang meninggalkannya tanpa uzur sekalipun dan tidak berhak atasnya hukuman. Penyembelihan ini tidaklah sampai kepada wajib yang berarti setiap orang diharuskan melakukannya namun demikian tetap seorang yang memiliki kesanggupan sangat dianjurkan untuk melakukannya berdasarkan firman Allah swt,”Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS Al Kautsar : 2) dan juga riwayat dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barang siapa yang memiliki kelapangan rezeki dan dia tidak berkurban maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami.” (HR. Ahmad and Ibnu Majah)

Jadi diperbolehkan bagi seorang yang berkurban setiap tahun untuk satu orang anggota keluarganya meskipun dia memiliki kesanggupan berkorban lebih dari itu namun lebih baik baginya berkurban untuk seluruh anggota keluarganya dalam satu tahun itu tanpa mencicil satu-satu setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan tak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, apakah ia akan tetap memiliki kesanggupan seperti tahun ini atau sebaliknya?!

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Hukum Mengenai Sholawat Kepada Nabi Muhammad SAW

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang dirahmati Allah….

Saya ingin menanyakan tentang macam macam shalawat nabi, kan di masyarakat ada shalawat badar, shalawat nariyah apa perbedaannya? Sedangkan shalawat nabi yang kita baca pada waktu sholat itu termasuk shalawat apa?

Terima kasih

Wassalamualaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Shalawat atas Nabi saw

Hukum membaca shalawat atas nabi menurut para ulama ada sepuluh pendapat, yaitu :

  1. Ibnu Jarir ath Thobari berpendapat bahwa shalawat adalah mustahabbat (sunnah) dan beliau menganggap bahwa hal ini adalah ijma para ulama.
  2.  Ibnu al Qishor dan ulama lainnya berpendapat sebaliknya bahwa ijma’ ulama mewajibkan secara umum tanpa pembatasan, akan tetapi minimal diperbolehkan adalah satu kali.
  3. Abu Bakar ar Rozi dari kalangan ulama madzhab Hanafi, ibnu Hazm dan yang lainnya berpendapat diwajibkan disetiap shalat atau yang lainnya sebagaimana kalimat tauhid. Al Qurthubi, seorang mufassir, berpendapat bahwa tidak ada perselisihan akan wajibnya sekali seumur hidup dan ia juga diwajibkan disetiap sunah muakkadah, pendapat ini telah diungkapkan sebelumnya oleh Ibnu Athiyah.
  4. Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa shalawat diwajibkan saat duduk diakhir shalat antara bacaan tasyahud dan salam.
  5. Pendapat Syafi’i dan Ishaq bin Rohwaih adalah diwajibkannya pada saat tasyahud.
  6. Abu Ja’far al Baqir berpendapat bahwa shalawat diwajibkan didalam sholat tanpa ada pengkhususan.
  7. Abu Bakar bin Bukair dari kalangan madhzab Maliki berpendapat wajib memperbanyaknya tanpa ada pembatasan dengan jumlah tertentu.
  8. At Thohawi dan para ulama dari madzhab Hanafi, al Halimi dan sekelompok ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa shalawat itu diwajibkan ketika disebutkan nama Nabi saw. Ibnul Arobi dari kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwa ini adalah suatu kehati-hatian, demikian pula dikatakan az Zamakhsyari.
  9. Az Zamakhsyari berpendapat bahwa shalawat diwajibkan sekali disetiap majlis walaupun penyebutannya terjadi berulang-ulang.
  10. Beliau juga berpendapat bahwa shalawat wajib disetiap doa.(Fathul Bari juz XI hal 170 – 171)

Jadi tidak ada perselisihan dikalangan para ulama akan disyariatkannya membaca shalawat atas Nabi saw, firman Allah swt,”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)

Shalawat dari Allah adalah rahmat, sedang dari para malaikat adalah istighfar dan dari orang-orang beriman adalah doa. Jadi kaum mukminin diminta untuk mendoakan Nabi saw agar senantiasa bertambah keagungan dan kemuliannya saw.

Banyak pahala yang Allah sediakan bagi orang-orang yang senantiasa bershalawat atas Nabi saw sebagaimana sabdanya saw,”Siapa yang bershalawat atasku satu kali shalawat maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim). “Manusia yang paling utama pada hari kiamat adalah oang yang paling banyak bershalawat.” (HR. Tirmidzi). “Orang yang bakhil adalah orang yang disebutkan namaku dihadapannya namun dia tidak bershalawat atasku.” (HR. Tirmidzi, dia mengatakan,’Hasan Shohih’)

Shalawat Badar

Shalawat Badar yang sangat masyhur dikalangan kaum muslimin di Indonesia bahkan hingga negeri-negeri tetangga berisi tentang tawassul dengan nama Allah swt, Nabi dan para mujahidin ahli badar.
Untuk mengingatkan kita tentang shalawat ini, berikut penggalan beberapa baitnya :

Sholatullaoh Salaamulloh ‘ala Thoha Rosulillah
Sholatullaoh Salaamulloh ‘ala Yaasiin Habiibillah
Tawassalnaa bi bismillah wabil Haadi Rosulillah
Wa kulli mujahidin lillah bi ahlil badri yaa Allah.

Artinya :
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Thaha utusan Allah
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Yasin utusan Allah
Kami berwasilah dengan berkah ‘bismillah’. Dan dengan Nabi yang memberikan petunjuk lagi utusan Allah
Dan juga seluruh mujahidin di jalan Allah dan juga dengan para sehabat ahli badar yaa Allah.

Tawassul adalah mengambil sesuatu untuk dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah swt.
Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah : 35)

Didalam Shalawat Badar paling tidak mencakup tiga macam tawassul :

  1. Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah.
    Para ulama bersepakat boleh bertawassul dengan Nama dan Sifat Allah swt sebagaimana sebuah doa saat meruqyah orang sakit,”Ya Robb kami yang ada di langit, sungguh suci nama-Mu, urusan-Mu di langit dan bumi. Sebagaimana rahmat-Mu di langit jadikanlah rahmat di bumi. Ampunilah kami atas penyakit dan kesalahan kami. Engkau Robb orang-orang yang baik. Turunkanlah satu rahmat dari rahmat-rahmat-Mu. Kesembuhan dari kesembuhan-Mu dari penyakit ini, maka orang itu pun sembuh.” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya).
    Didalam hadits ini terdapat tawassul kepada Allah azza wa jalla dengan memuji-Nya melalui Rububiyah dan Ilahiyah-Nya serta pensucian nama dan keagungan-Nya diatas makhluk-Nya juga perkara-Nya baik yang syar’i maupun qodari. (Syarhul Aqidah al Wasithiyah juz I hal 226, Maktabah Syamilah)
  2. Tawassul dengan Nabi saw dan orang-orang sholeh termasuk para mujahidin ahli Badar.
    Syrikh DR. Yusuf al Qaradhawi tentang permasalahan tawassul mengatakan bahwa permasalahan tawassul dengan Rasul saw, para nabi malaikat dan orang-orang sholeh dari hamba-hamba Allah adalah perkara-perkara yang diperselisihkan para ulama. Perselisihan terjadi dalam teknis berdoa dan hal ini tidaklah masuk didalam permasalahan aqidah.

Dan barangsiapa yang membaca buku-buku dari berbagai madzhab baik Hanafi, Maliki, Syafi’i bahkan Hambali maka ia akan mendapatkan dengan jelas bahwa banyak dari ulama yang membolehkan tawassul dengan Rasul saw, orang-orang shaleh dari hamba-hamba Allah. Diantara mereka ada yang memakruhkan dan ada juga yang melarangnya.

Dan setiap kelompok dari mereka memiliki berbagai dalil atau syubuhatnya—minimal—dalam mendukung pendapat mereka. Dan orang-orang yang tidak sependapat kemudian melakukan penentangan terhadap mereka sebagaimana umumnya terjadi di berbagai permasalahan khilafiyah.

Terdapat satu dalil yang kuat bagi mereka yang mengatakan tawassul, yaitu hadits Utsman bin Hunaif yang telah dishohihkan oleh Syeikh al Albani, hadits ini mengingkari tawassul.

Bunyi hadits tersebut adalah diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shohih dari Utsman bin Hunaif bahwasanya telah datang seorang laki-laki buta kepada Nabi saw dan berkata,”Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.’ Beliau saw bersabda,’Jika engkau mau, maka aku akan berdoa untukmu dan jika engkau mau aku akhirkan doa itu maka itu baik untukmu—didalam sebuah riwayat disebutkan : dan jika kamu bersabar maka itu baik untukmu—orang itu berkata, ’Berdoalah kepada-Nya. Rasul pun menyuruhnya berwudhu maka dia pun memperbaiki wudhunya, melaksanakan sholat dua raka’at dan berdoa dengan doa ini,’Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, aku menghadapkan kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad Nabi yang penyanyang, Wahai Muhammad sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku dengan (perantara) engkau kepada Tuhan-ku terhadap kebutuhanku maka penuhilah kebutuhanku, Ya Allah terimalah syafa’atnya untukku. Dia berkata,’orang itu pun melakukannya.’ Kemudian dia pun sembuh.”

Dikarenakan tema tawassul ini adalah permasalahan fiqih bukan aqidah maka aku (Yusuf al Qaradhawi) akan berbicara tentangnya dari buku-buku fiqih dari berbagai madzhab fiqih terhadap perbedaan hukum-hukumnya lalu masuk ke lingkup eksiklopedi fiqih dikarenakan hal ini juga masuk didalam peramasalahan-permasalahan furu’ amaliyah yang merupakan lingkup riset fiqih.

Banyak pula orang-orang yang tidak terikat dengan madzhabnya dengan mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan, diantara mereka Imam asy Syaukani—seorang ulama salaf—didalam kitabnya “Tuhfatudz Zakirin” syarh “al Hishnul Hashin” . Ada juga selainnya dari kalangan para ulama terdahulu dan belakangan, diantaranya ada yang membolehkan tawassul dengan Nabi saja dan tidak memperbolehkan tawassul dengan selainnya dari para Nabi, orang-orang shaleh sebagaimana pendapat Imam Izzuddin bin Abdussalam.

Aku sendiri (Yusuf al Qaradhawi) cenderung kepada pendapat yang mendukung tidak diperbolehkannya tawassul dengan diri Nabi saw dan orang-orang shaleh. Aku membangun pendapatku diatas pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hal ini didalam beberapa perkara berikut :

  1. Bahwa dalil-dalil yang melarang—yaitu melarang tawassul dengan diri Nabi dan diri orang-orang shaleh—lebih kuat dalam timbangan ilmiyah. Khususnya bahwa pintu Allah swt terbuka bagi setiap makhluk-Nya, tidak ada penghalang dan penjaganya sebagaimana pintu para raja dan penguasa bahkan Allah membukakan pintu-pintu rahmat-Nya bagi orang-orang yang berbuat maksiat dan menisbahkan mereka kepada dzat-Nya, firman-Nya swt,”Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)
  2. Bahwasanya pembolehan tawassul membuka jalan untuk berdoa kepada selain Allah swt dan meminta pertolongan kepadanya. Banyak orang telah mencampur-adukan antara dua perkara itu, maka menutup jalan bagi orang-orang awam lebih diutamakan.
  3. Bahwasanya manhaj yang aku ambil dan pakai didalam pengajaran, da’wah dan fatwa yaitu apabila kita bisa menyembah Allah swt dengan perkara yang disepakati atasnya maka tidak ada celah untuk kita masuk kedalam perkara-perkara yang diperselisihkan. Berdasarkan hal ini maka aku tidak mendahulukan beribadah dengan shalat tasbih dikarenakan adanya shalat-shalat lainnya yang disepakati atasnya yang mutawatir dari Rasulullah saw tentang beribadah dengannya.

Akan tetapi aku tidak mengatakan berdosa kepada orang yang mengerjakannya dan orang yang berijtihad dengan membolehkan tawassul atau membolehkan beribadah dengan shalat tasbih dan yang sejenisnya. Aku tidak mengingkari hal itu kecuali dari aspek arahan kepada yang paling kuat dan utama karena tidak ada pengingkaran didalam permasalahan-permasalahan khilafiyah sebagaimana telah diketahui. Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, walaupun beliau mengingkari tawassul dengan diri namun dia tidak keras dalam pengingkarannya hingga sampai mengkafirkan atau menyatakannya berdosa sebagaimana dilakukan sebagian orang yang menganggap mereka berafiliasi dengan madzhabnya. Beliau mengatakan didalam “Fatawanya” setelah menyebutkan perbedaan tentang masalah ini : “tidak seorang pun yang mengatakan,’Sesungguhnya siapa yang mengatakan dengan pendapat pertama telah kufu. Tidak ada dasar untuk mengkafirkannya.

Sesungguhnya permasalahan ini masih misteri, tidak ada dalil-dalil yang jelas dan nyata. Sesungguhnya kekufuran terjadi karena mengingkari perkara-perkara yang diketahui prinsip didalam agama atau hukum-hukum yang mutawatir dan disepakati atau yang seperti itu…

Bahkan orang yang mengkafirkan seperti dalam permasalahan ini berhak mendapatkan sangsi dan peringatan keras sepertihalnya orang-orang yang mendustakan agama, terlebih lagi Nabi saw mengatakan,”Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya,’Wahai kafir maka (kekufuran itu) kembali kepada salah seorang dari keduanya.” (Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam 1/106) dan hadits riwayat Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar ra.

Banyak orang yang mengatakan,”Sesungguhnya hadits diatas adalah dalil dibolehkannya tawassul didalam berdoa dengan kehormatan Nabi saw atau selainnya dari orang-orang shaleh karena didalam hadits itu Nabi saw mengajarkan orang buta itu untuk bertawassul dengannya didalam doanya yang kemudian dilakukan oleh orang buta itu sehingga kembalilah penglihatannya.

Adapun Syeikh al Albani mengatakan,”Adapun kami melihat bahwa hadits ini bukanlah dalil untuk mereka terhadap tawassul yang diperselisihkan didalamnya, yaitu tawassul dengan diri, akan tetapi tawassul orang buta ini hanya didalam doanya.” (www.islamonline.net)

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Bagaimana Jenis Ketaatan yang Harus Diberikan Terhadap Pemimpin Jamaah Muslim?

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Ykh, Ustadz,  bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim dalam kepemimpinan yang sudah ada dan tampak penyimpangan? Misalnya sudah mengabaikan rambu halal haram, subhat, kepatutan atau maksiat.

Bagaimana jika sistemnya diyakini cocok dengan Al Qur’an dan sunnah, tetapi diterapkan dalam kepemimpinan yg menabrak rambu-rambu syariah.

Mohon penjelasannya, jazakumullah ya ustadz.

A Haris

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Makna Taat
Taat menurut Imam Hasan Al Banna adalah menunaikan dan melaksanakan perintah dengan serta merta baik dalam keadaan sulit maupun senang, semangat maupun terpaksa.” (Majmu’atur Rosail hal 274)

Beberapa dalil dari Al Qur’an dan Sunnah :

1. Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa : 59)

2. Sabda Rasulullah saw,”Kami dahulu tatkala membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan taat beliau saw bersabda,’sesuai kesanggupan kalian.” (HR. Bukhori Muslim)

3. Sabda Rasulullah saw,”Akan datang kepada kalian para pemimpin yang mengakhirkan sholat dari waktunya, melakukan berbagai bid’ah.” Ibnu Masud berkata,’Apa yang harus aku lakukan?’ Beliau saw menjawab, ‘Engkau bertanya kepadaku wahai Ibnu Ummi ‘Abd apa yang kamu lakukan? Tidak ada taat terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah.’ (HR. Ibnu Majah)

Said Hawwa dalam menjelaskan Rukun Taat menyebutkan bahwa ketaatan yang sempurna tidak dapat terwujud tanpa ilmu dan tsiqoh. (membina angkatan mujahid hal172)

Ilmu Landasan Taat yang Pertama

Ilmu adalah pondasi yang diatasnya dibangun suatu ketaatan. Karena sesuatu yang dibangun diataas kebodohan maka mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan akan jauh lebih besar daripada manfaatnya. Islam adalah agama ilmu yang menjadikannya sebagai jalan menuju keimanan dan amal. Dikarenakan ilmu ini pula Adam as dijadikan kholifah di bumi ini.

Islam melarang setiap umatnya untuk bersifat taqlid atau mengikuti tidak atas dasar ilmu, sebaimana firman-Nya,”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’ : 36)

Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,”Kalimat singkat ini menegakkan manhaj yang utuh bagi hati dan akal, ia mencakup metode ilmiah yang dikenal oleh manusia baru-baru ini. Ditambahkan pula didalamnya terdapat keteguhan hati dan perasaan diawasi oleh Allah swt.

Karakteristik islam tegak diatas manhaj-manhaj ilmu yang dalam, memperjelas segala kebaikan, segala yang lahiriyah dan segala gerakan sebelum menghukum atasnya adalah seruan Al Qur’an Al Karim. Dan setiap kali hati dan akal itu tegak diatas manhaj ini maka tidak ada ruang untuk keraguan dan khurafat dalam alam aqidah, tidak ada ruang bagi perasangka dan syubhat dalam alam hukum, peradilan dan pergaulan, tidak ada ruang bagi hukum-hukum dangkal dan khayalan dalam alam riset, penelitian dan pengetahuan.” Beliau melanjutkan,’Sesungguhnya itu adalah amanah anggota tubuh, panca indera, akal dan hati. Amanah yang akan ditanyakan kepada pemiliknya, ia akan ditanya tentang anggota tubuh, panca indera, akal dan hatinya secara keseluruhan.” (Fii Zhilalil Qur’an juz IV hal 2224)

Seorang makmum didalam sholat yang mengetahui tentang rukun dan sunnah sholat maka ia wajib mengingatkan sang imam ketika melakukan suatu kesalahan, namun sebaliknya ketika makmum itu tidak mengetahuinya maka kemungkinan besar ia akan menuruti sang imam walaupun sudah kelebihan rakaat atau ada satu rukunnya yang ditinggalkan. Musibah lainnya adalah ketika makmum mengetahui kekeliruan sang imam namun ia tidak berani atau sungkan untuk mengingatkannya dikarenakan tidak enak, ewuh pakewuh atau menganggap imamnya sudah berpengalaman maka akibatnya seluruh jamaah sholat menjadi salah.

Ketaatan kepada pemimpin harus disesuaikan dengan kapasitas ilmunya, semakin tinggi kapasitas ilmunya maka harus semakin memberikan ketaatan secara penuh kepada pemimpin tetapi juga pada saat yang bersamaan ia juga yang paling bertanggung jawab untuk melakukan pemberitahuan dan perbaikan terhadap kekeliruan pemimpin ketimbang orang yang masih rendah keilmuannya. Seperti para makmum yang berada persis dibelakang imam atau di shaf pertama maka ia lebih bertanggung jawab untuk memberitahu kesalahan imam ketimbang para makmun yang ada dibarisan kedua, ketiga dan seterusnya.

Tsiqoh Landasan Taat yang Kedua

Imam Al Banna mendefinisikan tsiqoh dengan kepuasan (ithmi’nan) seorang pengikut kepada pemimpinnya dalam hal kapasitas dan keikhlasannya dengan kepuasan yang mendalam yang bisa melahirkan kecintaan, penghargaan, penghormatan dan ketaatan.

Firman Allah swt,”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa : 65)

Pemimpin adalah bagian dari da’wah, tidak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar kepercayaan yang muncul secara timbal-balik antara pemimpin dan pengikut adalah penentu kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khitthohnya, keberhasilannya dalam mencapai tujuannya dan dalam menghalau berbagai halangan dan kesulitan, firman-Nya,”Maka lebih utama bagi mereka, ketaatan dan perkataan yang baik.” –(Majmu’atur Rosail hal 276)

Tsiqoh bukan hanya kewajiban yang harus diberikan oleh para pengikut saja tetapi haruslah juga ditunjukkan oleh sang pemimpin. Bagaimana seorang pemimpin juga harus menunjukkan kepada para pengikutnya bahwa ia telah menunaikan berbagai kewajibannya terhadap mereka didalam memerankan empat fungsinya, yaitu sebagai ayah, guru, syeikh, pemimpin politik dan militer. Ketika keempat sifat itu tidak terdapat didalam diri pemimpin maka akan mengakibatkan berkurangnya kadar ketsiqohan para junud dan semakin rapuhnya kekuatan sistem jama’ah.

Sang pemimpin juga dituntut bisa menunjukkan bahwa dirinya memang berhak untuk mendapatkan ketsiqohan dari para pengikutnya didalam prilaku kehidupannya sehari-hari. Perlunya pembuktian ini jangan diartikan bahwa para pengikut sudah tidak mempercayai pemimpinnya berada diatas kebenaran tetapi dalam rangka memunculkan ketenangan dan kepuasan (ithmi’nan) dalam diri mereka yang menjadi dasar dari ketsiqohan tersebut, sebagaimana firman-Nya,”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (QS. Al Baqoroh : 260)

Manhaj Da’wah

Firman Allah swt,” Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al Maidah : 48).

Asy Syir’ah dan asy Syariah pada dasarnya adalah jalan yang terang yang mengantarkannya kepada air namun kemudian kata ini digunakan untuk arahan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya berupa agama sedangkan minhaj adalah jalan yang terang dan jelas. Abul ‘Abbas Muhammad bin Yazid al Mubarrod mengatakan bahwa syariat adalah permulaan jalan sedangkan minhaj adalah jalan yang berkesinambungan.” (Fathul Qodir juz II hal 320, Maktabah Syamilah)

Manhaj adalah sarana yang sangat penting dan dibutuhkan suatu jama’ah dalam mencapai berbagai tujuannya. Sebagaimana pengertian manhaj adalah jalan yang terang dan jelas maka manhaj da’wah sudah seharusnya bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah karena tidak ada yang lebih terang dan jelas dalam memberikan arahan dalam kehidupan ini daripada Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sungguh aku telah tinggalkan kalian diatas (jalan) yang jelas yang malamnya bagai siangnya. Tidaklah seorang yang menyimpang darinya kecuali ia akan celaka.” (HR. Ibnu Majah)

Tidak ada satupun permasalahan kecuali nash-nash yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskannya baik dalam urusan aqidah, manhaj kehidupan, masalah ketatanegaraan, ekonomi, akhlak, sosial, politik, perundang-undangan dan lainnya. Ketika suatu jama’ah tidak bersandar kepada keduanya maka sudah dipastikan ia akan menyimpang dan tersesat.

Untuk itu manhaj suatu gerakan da’wah haruslah senantiasa menjadi pijakan dalam perjuangan mencapai tujuan. Ia haruslah ditaati oleh seluruh elemen gerakan tersebut dari mulai pemimpin hingga paa pengikutnya. Manhaj ini kemudian dituangkan dalam suatu aturan / sistem yang sering disebut dengan AD/ ART jama’ah.

Menghormati Peraturan (AD/ART) Jamaah

Satu dari sepuluh perkara yang tsawabit didalam jamaah adalah Menghormati Peraturan Jama’ah adalah Akhlak Kita.

Tsawabit adalah perkara-perkara yang senantiasa tidak berubah atau berganti sepanjang zaman dan perbedaan tempat. Ia merupakan prinsip-prinsip yang mengikat para anggotanya, membingkai prilaku dan perangai mereka, neraca akurat yang tidak ada kesalahan serta yang membedakan mereka dari orang diluar mereka. Untuk itu tsawabit tidaklah bisa ditawar-tawar atau ditinjau ulang…

Sedangkan mutaghoyyirot adalah perkara-perkara yang memungkinkan terjadinya perubahan, pergantian, penta’wilan dan pengembangan. Perubahan didalam hal ini tidaklah dianggap keluar dari pokoknya yang berkesinambungan serta berkarakter dan tidak juga keluar dari asasnya. Mutaghoyyirot merupakan perkara yang fleksibel karena perubahan zaman dan tempat membutuhkan fleksibiltas, penyesuaian dan respon dengan tetap menjaga yang tsawabit. (Manhaj al Imam al Banna, ats Tsawabit wal mutaghoyyirot, hal 3)

Jum’ah Amin Abdul Aziz menyebutkan didalam bukunya Manhaj al Imam al Banna, ats tsawabit wal mutaghoyyirot mengatakan,”Imam Hasan Al Banna menerapkan manhaj akidah, manhaj ibadah dan manhaj harokah untuk jama’ah demi menyatukan pemahaman, menata perjalanan maka jadilah menghormati aturan merupakan tsawabit didalam jama’ah.”

Ia juga menambahkan,”Maka barangsiapa yang ingin masuk pintu jama’ah dan menjadi seorang akh serta ikut serta didalam harokah maka ia harus menghormati peratuan dan tidak melanggarnya, ini sudah aksiomatis. Karena didalam kehidupan ilmiah kita walaupun seseorang hanya sebatas bergabung dengan suatu perkumpulan maka ia mesti tunduk kepada AD/ART nya dan jika tidak, maka ia akan terkena sangsi atau bahkan pemecatan. Demikian pula sekolah, universitas, pekerjaan di suatu yayasan atau perusahan.

Seorang pekerja perusahaan harus tunduk dengan segala aturan kerja dan mentaati direkturnya dalam setiap yang dibebankan kepadanya, bahkan apabila seorang anggota parpol berbicara sembarangan dan bertentangan dengan pemikiran, pandangan dan arahan-arahan partainya maka ia harus segera dibawa kehadapan Lembaga Disiplin dan Nilai Partai atau Lembaga Keanggotaan yang berhak menghentikan tugasnya.” (Manhaj al Imam al Banna, ats Tsawabit wal mutaghoyyirot, hal 90)

Dari penjelasan diatas tampak begitu berwibawanya lembaga / insitusi yang berwenang untuk mengawasi prilaku para anggotanya dalam mengingatkan, menegur hingga memecat mereka sehingga mereka terjaga dari penyimpangan yang akan mengakibatkan rapuhnya jama’ah. Tentunya hal yang sama juga harus dilakukan terhadap para pemimpinnya (di semua level) yang diberikan amanah kepemimpinan didalam jama’ah terlebih lagi efek yang ditimbulkan dari penyimpangan mereka pasti akan luas tidak sebatas kepada dirinya tetapi juga kepada soliditas para anggotanya.

Jum’ah Amin juga menceritakan didalam bukunya itu tentang pemecatan Syeikh Ahmad Hasan Al Baquri saat menerima jabatan menteri di Departemen Wakaf pada pemerintahan Abdun Nasher tanpa seizin dari Mursyid Hasan al Hudhoibi. Kalaulah dilihat dari posisi yang ditawarkan oleh Abdun Nasher kepada Syeikh Al Baquri sepertinya dia pada saat itu bukanlah anggota biasa tapi sudah masuk dalam jajaran pemimpin dari jama’ah namun sikap tegas tanpa pandang bulu tetap diambil oleh Mursyid.
Landasan umum ketaatan kepada pemimpin adalah apa yang telah ditetapkan Islam yaitu tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah atau ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf (dalam perkara-perkara kebajikan dan kebaikan).

Sabda Rasulullah saw,”Taat kepada pemimpin adalah kewajiban setiap orang muslim selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah, Jika dia memerintahkan maksiat kepada Allah maka tidak ada ketaatan baginya.” (HR. Baihaqi)

Ada yang berpendapat ketika seorang pengikut melihat kemaksiatan pemimpinnya selama dia belum melakukan kekufuran yang nyata dengan bukti-bukti yang jelas maka hendaklah ia tetap mentaatinya dan bersabar terhadapnya dan terhadap perbuatannya karena dikhawatirkan terjadi fitnah, sebagaimana Hadits Rasulullah saw,”Siapa yang tidak menyukai suatu perbuatan dari pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya. Tidaklah seorang manusia yang keluar dari penguasa sejengkal saja kemudian mati kecuali ia akan mati seperti matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim)

Namun bersabar bukan berarti berdiam diri terhadap kemaksiatan seseorang walaupun ia adalah pemimpinnya. Kesabaran harus memunculkan sikap dinamis yang selalu mencari perbaikan atas segala kekeliruan, perubahan atas segala keburukan dan pelurusan atas segala penyimpangan. Pengingatan yang dilakukan para pengikut terhadap kekeliruan dan kesalahan pemimpinnya termasuk dalam kategori sabar dalam menegakkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Masyarakat muslim bukanlah masyarakat yang negatif, yang melihat kemunkaran kemudian tidak memiliki sikap atau melihat pemimpin yang zhalim yang terus menerus melakukan kezhaliman kemudian diam saja!!! Sesungguhnya sikap diam diri terhadap orang yang zhalim adalah pada satu kondisi yaitu khawatir terjadi fitnah apabila ia keluar dari (ketaatan) kepada Hakim maka pada saat seperti itu haruslah pengingkaran dilakukan dengan lisan atau hati, yang penting ada satu pengingkaran agar tidak termasuk dalam ridho kepada kazhaliman dan orang yang zhalim.

Firman Allah swt,”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (QS. At Taubah : 71) –(Ruknut Tho’at hal 32)

Yang tidak diperbolehkan adalah ketika peneguran dan pengingatannya dilakukan dengan mengangkat senjata menentang kezhaliman pemimpin. Hal ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya fitnah dan kekacauan dikalangan kaum muslimin, sebagaimana disebutkan Imam Asy Syaukani bahwa maksud dari “Dan barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal” adalah maksiat terhadap penguasa dan memeranginya. (Nailul Author juz XI hal 398, Maktabah Syamilah)

Ada hadits lain yang melarang seorang pengikut menentang pemimpinnya selama ia masih menegakkan sholat. Ia juga mengatakan bahwa hadits, ”Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat.” adalah dalil tidak diperbolehkan menentang para imam dengan pedang selama mereka masih menegakkan sholat. Dalil ini juga berarti diperbolehkannya menentang mereka ketika mereka meninggalkan sholat. (Nailul Author juz XI hal 405, Maktabah Syamilah)

Bai’at kepada imam / khalifah kaum muslimin yang disebut juga dengan baiat umum (bai’ah ammah) termasuk didalam perkara tsawabit yang dilarang untuk melepaskannya seperti yang disebutkan Imam Ahmad,”Barangsiapa yang mati dan diatas tengkuknya tidak ada baiat, maka ia mati jahiliyah.” Apa maksudnya? Ia menjawab,”Tahukah kamu, siapakah imam itu? Dia adalah imam seluruh umat islam bersatu dibawahnya dan semua mengakui bahwa dia adalah imam. Inilah maksudnya. Baiat seperti ini tidak boleh ganda, karena Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang keduanya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 262)

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan bahwa para pembangkang yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa dan dari Jamaatul Muslimin maka setiap mereka yang membangkang apabila mati maka matinya seperti mati orang jahiliyah. Sesungguhnya orang-orang jahiliyah, mereka tidak memiliki para imam. (Majmu’ Fatawa juz VI hal 421 Maktabah Syamilah)

Termasuk perkara yang tsawabit dan tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya mengikuti Jama’atul Muslimin jika mereka bersatu menunjuk imam yang memimpin mereka sesuai tuntutan Al Qur’an dan Sunnah (mengikuti para imam selain dalam maksiat). (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah, hal 257)

DR Shalah Shawi menyebutkan pula bahwa Imam Ahmad dalam kitab Al i’tiqad telah megatakan,”Adalah wajib mendengar dan taat kepada para imam dan amirul mukminin, baik yang adil atau zhalim, dan kepada orang yang memegang tampuk khilafah dimana umat bersatu dan ridha kepadanya, dan kepada orang yang mengalahkan mereka dengan pedang, sehingga menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin, tidak boleh ditinggalkan, baik Amirnya adil maupun zhalim.”

Ia (Imam Ahmad) juga mengatakan,”Barangsiapa memberontak imam kaum muslimin padahal umat telah bersatu dibawahnya dan mengakui kekhalifahannya, baik dengan kerelaan maupun dengan kekuatan maka ia telah memecah-belah kesatuan umat islam dan menyalahi hadits-hadits Rasulullah saw. Kalau ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah. Tidak halal bagi seorang pun memerangi dan menyerang sultan (penguasa). Barangsiapa melakukannya, maka ia adalah pelaku bid’ah, menyimpang dari sunnah dan jalannya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 257 – 258)

Untuk saat ini tidak ada Jamatul Muslimin yang dipimpin oleh seorang khalifah namun yang ada adalah Jamaah Minal Muslimin sehingga baiat yang diberikan kepada para pemimpinnya adalah perjanjian untuk melaksanakan ketaatan, dan ia tidak termasuk didalam kategori tsawabit namun ia termasuk mutaghoyyirot .Perbedaan antara jenis baiat ini dengan baiat umum yang diberikan kepada khalifah adalah :

1. Baiat kepada imam ditetapkan oleh ahlul hal wal ‘aqd kepada umat untuk orang yang memenuhi persyaratan imamah dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia. Baiat ini mewajibkan ketaatan dalam sal selain maksiat dan hukumnya wajib bagi seluruh umat.

2. Adapun baiat dalam arti perjanjian di atas, maka yang menetapkannya adalah sekelompok umat islam untuk diberikan kepada orang yang mereka akui ilmu dan kecakapannya, untuk mengerjakan satu atau lebih amal kebaikan. Kewajiban yang ditimbulkan adalah dalam batas tugas yang diperjanjikan. Pada dasarnya baiat jenis ini tidak diwajibkan oleh syariat kepada seorang pun. Akan tetapi, ia menjadi wajib bagi orang yang memasukinya dan berkomitmen dengannya secara sukarela.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 275 – 276)

Dari penjelasan diatas terdapat kesepakatan bahwa ketaatan kepada manhaj yang bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah haruslah didahulukan ketimbang ketaatan kepada seorang pemimpin yang menyalahi manhaj itu.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Menjadi PNS , Lulus Karena Lakukan Suap Pejabat

$
0
0

sigitAssalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz yang saya hormati,

Kenalan saya sekarang bekerja sebagai PNS. Dulunya ia lulus karena melakukan penyuapan. Sekarang ia sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Seperti kita ketahui, orang yang menyogok dan yang disogok adalah neraka untuknya. Bagaimana hukum atas pendapatan yang diperolehnya selama ini yang telah digunakannya untuk menafkahi keluarganya? Tolong dimuat ya Ustadz!

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Suap

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr berkata,”Rasulullah saw telah melaknat orang yang memberi dan menerima suap.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Ibnul Arabi mengatakan bahwa suap adalah setiap harta yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kedudukan untuk membantu atau meluluskan persoalan yang tidak halal. Al murtasyi sebutan untuk orang yang menerima suap, ar rasyi sebutan untuk orang yang memberikan suap sedangkan ar ra’isy adalah perantaranya. (Fathul Bari juz V hal 246)

Al Qori mengatakan ar rasyi dan al murtasyi adalah orang yang memberi dan menerima suap, ia merupakan sarana untuk mencapai tujuan dengan bujukan (rayuan). Ada yang mengatakan bahwa suap adalah segala pemberian untuk membatalkan hak seseorang atau memberikan hak kepada orang yang salah. (Aunul Ma’bud juz IX hal 357)

Suap adalah pemberian seseorang yang tidak memiliki hak kepada seseorang yang memiliki kewenangan (jabatan), baik berupa uang, barang atau lainnya untuk membantu si pemberi mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau menzhalimi hak orang lainnya, seperti pemberian hadiah yang dilakukan seseorang agar dirinya diterima sebagai pegawai di suatu perusahaan / instansi, agar anaknya diterima di suatu sekolah favorit / perguruan tinggi, pemberian kepada seorang guru agar anaknya naik kelas, pemberian hadiah kepada seorang hakim agar dia terbebaskan dari hukuman dan lainnya, walaupun fakta yang ada sebenarnya mereka semua tidak berhak atau tidak memiliki persyaratan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dari pemberiannya tersebut.

Al Hafizh menyebutkan suatu riawayat dari Farrat bin Muslim, dia berkata,”Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz meninginginkan buah apel dan ia tidak mandapati sesuatu pun dirumahnya yang bisa digunakan untuk membelinya maka kami pun menungang kuda bersamanya. Kemudian dia disambut oleh para biarawan dengan piring-piring yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz mengambil salah satu apel dan menciumnya namun mengembalikannya ke piring tersebut. Aku pun bertanya kepadanya tentang hal itu. Maka dia berkata,”Aku tidak membutuhkannya.” Aku bertanya,”Bukankah Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?” dia menjawab,”Sesungguhnya ia bagi mereka semua adalah hadiah sedangkan bagi para pejabat setelah mereka adalah suap.” (Fathul Bari juz V hal 245 – 246)

Suap merupakan dosa besar sehingga Allah swt mengancam para pelakunya, baik yang memberikan maupun yang menerimanya dengan laknat atau dijauhkan dari rahmat-Nya bahkan , sebagaimana diriwayatkan oleh An Nasai dari Masruq berkata,”Apabila seorang hakim makan dari hadiah maka sesungguhnya dia telah memakan uang sogokan. Apabila dia menerima suap maka ia telah menghantarkannya kepada kekufuran.” Masruq mengatakan barangsiapa yang meminum khamr maka sungguh ia telah kufur dan kekufurannya adalah tidak diterima shalatnya selama 40 hari.

Namun apabila pemberian hadiah terpaksa dilakukan oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang dalam permasalhannya untuk mendapatkan haknya atau menghilangkan kezhaliman atas dirinya maka hal ini dibolehkan bagi si pemberi dan diharamkan bagi si penerima.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan,”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan atasnya adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.

Adapun apabila orang itu memberikan hadiah kepadanya untuk menghentikan kezaliman terhadapnya atau untuk mendapatkan haknya maka hadiah ini haram bagi si penerima dan boleh bagi si pemberinya, sebagaimana sabda Nabi saw,”Sesungguhnya aku memberikan suatu pemberian kepada salah seorang dari mereka maka dia akan keluar dengan mengepit (diantara ketiaknya) api neraka. Beliau saw ditanya,”Wahai Rasulullah saw mengapa engkau memberikan kepada mereka? Beliau saw menjawab,”Mereka enggan kecuali dengan cara meminta kepadaku dan Allah tidak menginginkan kau berlaku pelit.” (Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161)

Perlakuan Terhadap Penghasilan dari Suap

Dikarenakan suap menyuap (sogok) adalah prilaku yang diharamkan maka penghasilan yang didapat pun bisa dikategorikan sebagai penghasilan yang haram. Didalam suap ini selain melanggar rambu-rambu Allah swt dalam mencari penghasilan, ia juga mengandung kezhaliman yang nyata terhadap orang-orang yang memiliki hak.

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

Artinya ; “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS. Al Baqoroh : 188)

Imam al Qurthubi mengatakan,”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)

Untuk itu bagi seorang muslim hendaklah mencari nafkah dengan cara-cara yang dibenarkan syariat sehingga setiap rupiah yang didapatnya mendapatkan berkah dari Allah swt.

Keberkahan seseorang tidaklah ditentukan dari banyak atau sedikitnya harta yang dimilikinya namun dari halal atau tidaknya harta tersebut. Seberapa pun harta yang dimiliki seseorang ketika memang itu semua didapat dengan cara-cara yang halal dan dibenarkan syariat maka didalam harta itu terdapat keberkahan dari Allah swt.

Adapun terhadap seseorang yang pernah melakukan atau bahkan terbiasa dengan praktek suap menyuap ini dan menjadikannya suatu penghasilan baginya dan untuk keluarganya, maka tidak ada kata lain baginya untuk segera melakukan hal-hal berikut :

1. Bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha.
Didalam praktek suap yang dilakukannya bukan hanya dosa terhadap seseorang namun juga ada dosa terhadap Allah swt, dan ini hanya bisa dimaafkan dengan jalan bertaubat yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim : 8)

a. Meninggalkan kemaksiataan yang dilakukannya.
b. Menyesali perbuatannya.
c. Bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya.

Adapun terhadap harta atau barang hasil suapnya dapat dibedakan menjadi :
Apabila harta suap itu didapat dengan cara menzhalimi orang yang memiliki hak untuk mendapatkan haknya, maka selain bertaubat orang itu harus melakukan hal-hal berikut :

2. Mengembalikan harta yang diambil dengan cara haram tersebut kepada pemberinya apabila ia masih hidup atau kepada ahli warisnya apabila ia sudah meninggal dunia, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Janganlah salah seorang diantara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan sungguh-sungguh atau main-main. Dan apabila salah seorang diantara kamu bermaasiat (mengambil barang) saudaranya maka dia harus mengembalikannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

3. Apabila harta yang diambil dari suap tersebut sudah bercampur dengan harta yang halal maka dia harus memisahkan diantara keduanya dengan cara memperkirakan berapa banyak harta yang diambil dengan cara suap tersebut dan mengembalikan kepada pemiliknya.

Didalam Fatawa Ibnu ash Sholah disebutkan,”Apabila dirham yang halal telah bercampur dengan beberapa dirham yang haram dan susah dibedakan maka caranya adalah dengan memisahkannya (memperkirakan) darinya yang haram dengan niat pemisahan kemudian mempergunakan sisanya yang halal.” (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 276)

4. Namun apabila pemilik harta tersebut (si pemberi) sudah susah dilacak begitu juga dengan para ahli warisnya sementara dia sudah berusaha sedemikian rupa sehingga hampir-hanpir putus asa maka dibolehkan baginya untuk menyedekahkannya atas nama si pemberi suap ke tempat-tempat yang baik seperti pembangunan masjid, rumah sakit, jembatan dan lainnya, walaupun orang yang memberikan itu bukan seorang muslim.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Apabila seseorang tidak mengetahui pemilik sebuah harta maka hendaklah dia menyerahkannya kepada tempat-tempat maslahat bagi kaum muslimin, demikian menurut jumhur ulama seperti Malik, Ahmad dan selainnya. Apabila ditangan seseorang terdapat harta dari cara yang batil, curang, titipan atau gadai sementara dia telah berputus asa dalam mengetahui pemiliknya maka hendaklah dia menyedekahkannya atas nama mereka (pemiliknya) atau menyerahkannya ke tempat-tempat maslahat kaum muslimin atau juga menyerahkannya kepada orang yang adil untuk menyerahkannya ke tempat-tempat maslahat kaum muslimin dan maslahat-maslahat keagamaan.”

Dia juga menambahkan bahwa sebagian tabi’in telah memberikan fatwa kepada orang yang mencuri harta rampasan perang kemudian dia bertaubat setelah orang-orang yang berhak mendapatkannya sudah terpencar maka hendaklah dia menyedekahkannya atas nama mereka, dan fatwa ini pun diterima oleh para sahabat dan tabi’in yang mendengarnya, seperti : Muawiyah dan yang lainnya dari penduduk Syam. (Majmu’ Fatawa juz XXIX hal 177)

Apabila harta suap itu diambil dari orang yang tidak memiliki hak mendapatkan apa yang mereka berdua sepakati dalam praktek suap dahulu maka hendaklah ia bertaubat dengan sebenar-benarnya dan tidak perlu mengembalikan harta atau barang suapnya itu kepada si pemberinya akan tetapi hendaklah dia menyedekahkannya ke tempat-tempat maslahat kaum muslimin.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Dapatkah Bantuan Kemanusiaan Palestina/Dunia Islam Dianggap Sebagai Zakat?

$
0
0

sigitAssalamualaikum wr. wb. Pak Ustadz yth, Dapatkah bantuan kemanusiaan untuk Palestina digolongkan sebagai zakat?. Trimakasih. Wassalam, syamsul Wa’alaikumussalam Wr Wb Derita Palestina Derita Seluruh Kaum Muslimin Allah swt telah memuliakan dan mengangkat Al Quds melalui peristiwa isra Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang kemudian diabadikan didalam suatu surat yang dinamakan Surat Al Isra.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

Artinya : “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Israa : 1) Hal lain juga adalah bahwa Masjidil Aqsha merupakan kiblat pertama kaum muslimin dan salah satu dari tiga tempat suci kaum muslimin yang disunnahkan untuk diziarahi, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Tidaklah dianjurkan untuk melakukan suatu perjalanan kecuali kepada tiga masjid : Masjidku ini, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhori, Ahmad) Ditambah lagi sejak zaman Umar bin Khottob, Al Quds terus berada dibawah kekhilafahan Islam hingga masa kekhilafahan Turki Utsmani meskipun sempat terjadi penyerangan oleh orang-orang Salib pada tahun 1096 – 1291 M. Upaya orang-orang Eropa dan Yahudi untuk merampas bumi suci kaum muslimin ini terus menerus dilakukan sejak zaman Napoleon Bonaparte (1798 M), M.T. Young, Moys Montefiori (1855 M), Hertzel (1898 M) hingga terjadinya Dekalarasi Balfour (1918 M) yang memberikan meneguhkan orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara bagi mereka di Palestina. Dan pada tahun tahun terakhir  ini,  dunia dipertontonkan dengan tindakan brutal mereka dengan membunuhi para penduduk Gaza, hingga ribuan korban meninggal dan terluka  dengan peralatan medis yang serba seadanya. Derita dan kesedihan mereka adalah derita dan kesedihan seluruh kaum muslimin dunia karena mereka bukanlah diikat oleh ikatan etnis, suku bangsa, nasab ataupun ikatan emosional lainnya, akan tetapi mereka semua diikat oleh aqidah islam.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Aetinya : “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat : 10) Juga hadits yang diriwayatkan dari an Nu’man bin Basyar yang berkata,”Telah bersabda Rasulullah saw,’Engkau melihat orang-orang beriman dalam saling mengasihi, saling mencintai dan saling menyayangi diantara mereka seperti satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuhnya yang mengeluh kesakitan maka hal itu akan dirasakan oleh seluruh tubuh itu dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhori) Tidak ada kata lain bagi kaum muslimin dunia kecuali memberikan bantuan kepada saudara-saudara mereka di Palestina sebagai perwujudan Ukhuwah Imaniyah. Kewajiban jihad pada saat-saat seperti ini bukan hanya menjadi kewajiban (ain) bagi penduduk Palestina umumnya dan Gaza khususnya namun juga menjadi kewajiban (kifayah) kaum muslimin dunia. Hukum Mengirimkan Zakat buat Mujahidin Palestina Diantara bantuan yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di luar bumi Palestina adalah melalui jihad harta, baik melalui pengiriman infak, sedekah maupun zakat. DR Husein As Sahatah, ustadz Universitas Al Azhar serta Dewan Pakar Ekonomi Islam, menyebutkan bahwa penduduk Gaza adalah yang paling utama untuk mendapatkan zakat berdasarkan timbangan fiqih maupun prinsip-prinsip fiqih zakat harta, dikarenakan kondisi mereka adalah : 1. Orang-orang yang berhak menerima zakat dari kalangan fakir dan miskin. Mereka adalah orang-orang fakir yang sesungguhnya dan sebenarnya. Mereka hidup tanpa memiliki kemampuan bahkan sebagian mereka hidup dibawah kecukupan. Seorang fakir yang hidup di suatu negeri arab yang saling bertetangga berbeda dengan seorang yang fakir di Gaza. 2. Orang-orang yang berhak menerima zakat dari kalangan orang yang berhutang. Mereka adalah orang-orang yang diberatkan dengan beban-beban hidup sehingga terhimpit oleh banyaknya utang. Berbagai musibah dari kebencian musuhnya Zionis datang setiap saat, baik dengan meruntuhkan rumah-rumah, kemah-kemah atau gubuk-gubuk mereka, merampas ladang-ladang mereka, memenjarakan keluarga mereka, dan membuat yatim anak-anak mereka. Maka adakah yang membantu? 3. Mereka adalah orang-orang yang berhak menerima zakat dari kalangan “budak-budak” yang harus dibebaskan; maksudnya adalah dalam keadaan jihad, yang dikarenakan peperangan ini maka penduduk Palestina umumnya dan Gaza khususnya berada dalam kerangkeng penjajah Zionis. Mereka semua membutuhkan orang yang bisa membebaskan dari permasalahan dan memerdekannya, untuk itu mereka adalah orang yang harus mendapatkan zakat dan sedekah. 4. Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat dari kalangan Ibnu Sabil. Sesungguhnya penduduk Palestina telah diusir dari rumah-rumah mereka serta sebagian mereka hidup didalam kemah-kemah jauh dari kecukupan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan hingga ibadah haji. Untuk itu mereka adalah orang yang harus mendapatkan zakat dan sedekah. 5. Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat dari kalangan Fii Sabilillah. Mereka adalah mujahidin dan orang-orang yang senantiasa bersiap siaga dalam peperangan di bumi islam yang berkah itu. Mereka adalah para mujahidin yang akan membebaskan Masjidil Aqsha. Mereka adalah mujahidin yang akan mempertahankan izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Mereka juga adalah mujahidin yang akan menghidupkan kewajiban jihad. Untuk itu mereka adalah orang yang harus mendapatkan zakat dan sedekah. Telah sekian banyak fatwa yang berasal dari Lembaga Fiqih Islam Internasional, dari setiap ulama, fuqoha umat yang membolehkan pemindahan zakat dan sedekah kepada rakyat Palestina umumnya dan penduduk Gaza khususnya dikarena mereka semua adalah orang-orang yang lebih utama untuk mendapatkan zakat. Untuk itu wajib bagi setiap pemerintahan di negeri-negeri Arab dan Islam untuk mempermudah hal ini, dan inilah selemah-lemah iman. Ringkasnya : Wajib bagi kaum muslimin untuk membantu saudara-saudara kita, para mujahidin di Gaza dengan zakat, sedekah, sembelihan, nazar dan yang sejenisnya. Sesungguhnya para fuqoha umat islam ini telah sependapat terhadap wajibnya mengirimkan zakat dan sedekah kepada mereka dikarenakan mereka semua adalah orang-orang yang paling utama untuk menerima zakat dan diperbolehkan untuk memindahkan zakat kepada mereka. (al Jihad wa ath Tadhiyah Ma’a Syu’abi Filistin Faridhotun Syar’iyah) Wallahu A’lam -Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini : Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Membuat Tertawa Itu Dosa?

$
0
0

sigit1Assalamu’alaykum wr. wb.

Ustadz, saya pernah baca katanya kalau membuat orang lain tertawa terbahak-bahak itu dosa. Berarti pelawak berdosa? Kalau tidak salah saya baca di salah satu hadis Bukhari. Apakah benar demikian ustadz?

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah disebutkan Tertawa bisa berupa tersenyum atau terbahak-bahak. Pada dasarnya : jika ia berupa senyuman maka diperbolehkan menurut kesepekatan para ulama bahkan hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menganjurkannya sebagaimana terdapat dalam hadits Abdullah bin al Harits yang mengatakan, ”Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sekedar senyum.” (HR. Tirmidzi) Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi)

Adapun tertawa dengan terbahak-bahak maka para ulama memakruhkannya dan melarangnya jika hal itu banyak dilakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati.” Tsabit al Bananiy mengatakan, ”Tertawanya seorang mukmin adalah bagian dari kelalaiannya yaitu kelalaian terhadap perkara akherat dan jika dirinya tidak lalai maka tidaklah ia tertawa.” (hal. 10083)

Jadi pada dasarnya tertawa adalah sesuatu yang mubah (boleh) selama tidak kebanyakan (berlebihan) karena hal itu dapat mematikan hati, menjadikannya tertipu, berada di dalam kegelapan dan melupakan perkara-perkara akherat, sebagaimana apa yang diriwayatkan Oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati.”

Imam Nawardi di dalam kitabnya Adab ad Dunia wa ad Diin menyebutkan bahwa tertawa sesungguhnya kebiasaan yang dapat menyibukkannya dari melihat perkara-perkara penting, melalaikan dari berfikir terhadap berbagai musibah yang memilukan. Orang yang banyak tertawa tidaklah memiliki kehormatan dan kemuliaan. Diriwayatkan Oleh Abu Idris al Khulani dari Abu Dzar al Ghifari berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Waspadalah kamu terhadap banyak tertawa. Sesungguhnya ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah (mu).” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas terhadap firman Allah SWT :

هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ

Artinya : “Kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (QS. Al Kahfi [18] : 49), Sesungguhnya yang kecil di situ adalah tertawa.

Adapun tentang melawak —disebutkan didalam Fatawa al Azhar— bahwa ia adalah sesuatu, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang didominasi oleh tertawa, memasukkan kebahagiaan didalam jiwa maka hukumnya tergantung pada tujuan darinya serta uslub (cara-cara) yang digunakan di dalamnya. Apabila tujuannya adalah menghina atau merendahkan (orang lain) atau menggunakan cara-cara dusta maka hal itu dilarang dan jika tidak terdapat hal-hal demikian maka tidaklah dilarang, ia seperti canda. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercanda dan tidaklah dia mengatakan kecuali kebenaran, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan terdapat didalam sunan at Tirmidzi, ”Sesungguhnya Anda bercanda dengan kami,” Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidaklah mengatakan sesuatu kecuali yang benar”, ini adalah hadits hasan.

Di antara beberapa peristiwa, disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya, ”Bawalah aku di atas onta.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Bahkan kami akan membawamu di atas anak onta.” Orang itu berkata, ”Bagaimana aku melakukannya? Sesungguhnya ia tidaklah bisa membawaku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak ada satu onta pun kecuali dia adalah anak onta.” Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya. Didalam “al Adzkar” milik Imam Nawawi hal 322 disebutkan bahwa yang bertanya adalah seorang wanita.

Saya mengingatkan untuk menyedikitkan tertawa dan janganlah selalu tertawa karena hal itu bisa menjadikannya haram, disebutkan di dalam hadits, “Bisa jadi seseorang mengatakan satu patah kata yang menurutnya tidak apa-apa tapi dengan kalimat itu ia jatuh ke neraka selama tujuhpuluh tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Umar berkata, ”Barangsiapa yang banyak tertawa maka sedikit kemuliaannya, barangsiapa yang bercanda maka dia akan diremehkan.” Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Bertakwalah kepada Allah dan waspadalah terhadap canda. Sesungguhnya canda dapat mewariskan kedengkian dan membawanya kepada keburukan.” Imam Nawawi di dalam kitabnya itu mengatakan bahwa para ulama berkata, ”Sesungguhnya canda yang dilarang adalah yang kebanyakan dan berlebihan karena ia dapat mengeraskan hati dan menyibukkannya dari dzikrullah dan menjadikan kebanyakan waktu untuk menyakiti, memunculkan kebencian, merendahkan kehormatan dan kemuliaan. Adapun canda yang tidak seperti demikian maka tidaklah dilarang. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit melakukan canda untuk suatu kemaslahatan, menyenangkan dan menghibur jiwa. Dan yang seperti ini tidaklah dilarang sama sekali bahkan menjadi sunnah yang dianjurkan apabila dilakukan dengan sifat yang demikian. Maka bersandarlah dengan apa yang telah kami nukil dari para ulama dan telah kami teliti dari hadits-hadits dan penjelasan hukum-hukumnya dan hal itu karena besarnya kebutuhkan terhadapnya. wa billah at Taufiq (Fatawa al Azhar juz X hal 225)

Wallahu A’lam.

Ustadz Sigit Pranowo, Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Hukum Sumpah Anak Kecil

$
0
0

sigit1Assalammualaikum WW

Sewaktu kelas 6 SD yang pada saat itu saya yakin belum memasuki akhil baligh, saya pernah ketahuan merokok oleh ibunda saya, pada saat itu beliau menginginkan saya untuk bersumpah atas nama Allah untuk tidak merokok lagi selamanya. Tetapi saya melanggar sumpah tersebut karena saya berpendapat sumpah anak kecil tidak sah apalagi dipaksa.

Akhir-akhir ini saya teringat lagi akan sumpah saya pada saat itu

Pertanyaan saya :

1. Bagaimana hukum atas sumpah saya tersebut

2. Jika dinilai perbuatan saya dianggap sebagai perbuatan melanggar sumpah, apa yang bisa saya lakukan?

3. Sampai saat ini saya sedang berusaha untuk berhenti merokok, apakah ada solusi atau kiat-kiat yang harus saya tempuh dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok say

Jazzakallah ustadz mohon penjelasan secepatnya karena ini sangat urgen bagi saya

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Andy yang dirahmati Allah swt

Sumpah yang diucapkan oleh seorang anak yang belum mencapai usia baligh tidaklah sah karena pada usia tersebut dirinya belumlah memiliki kewajiban terhadap hukum-hukum syar’i berdasarkan dalil-dalil berikut :

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ

Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An Nuur : 59). Pada ayat ini tidak ada kewajiban meminta izin kepada anak-anak yang belum mencapai usia baligh.

Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig.”

Meskipun tidak ada keharusan bagi anda menunaikan sumpah tersebut dan tidak ada kafarat ketika melanggarnya akan tetapi tetap diharuskan bagi anda untuk menghentikan kebiasaan merokok dikarenakan kemudharatan yang ditimbulkannya baik terhadap diri anda maupun orang lain, kerugian harta dan merokok juga perbuatan buruk yang tidak disukai oleh setiap orang pemilik jiwa yang lurus.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.”

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ

Artinya : “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’raf : 157)

Mungkin hal-hal berikut bisa membantu anda untuk berhenti dari kebiasaan merokok :

1. Tanamkan tekad yang kuat didalam diri anda untuk menghentikan kebiasaan tersebut betapa pun besarnya dorongan untuk merokok yang ada didalam diri anda maupun lingkungan sekitar anda.

2. Menyadari bahwa merokok adalah perbuatan yang dilarang Allah swt dan mendatangkan kemudharatan baik bagi diri maupun orang-orang yang ada di sekitar anda.

3. Renungkanlah seandainya diri anda terhinggapi penyakit-penyakit yang disebabkan merokok, seperti : kanker paru-paru, sesak nafas, jantung kemudian renungkanlah efek yang ditimbulkannya baik terhadap diri anda, keluarga anda, penghasilan anda, biaya pengobatannya jika penyakit-penyakit itu sampai pada tarap yang membahayakan diri anda.

4. Bicarakanlah keinginan anda untuk berhenti darinya kepada istri dan keluarga anda dan mintalah mereka untuk mengingatkan anda ketika anda terlupa saat memegang atau mulai menyalakan sebatang rokok.

5. Hindarilah lingkungan para perokok dan jika pun anda terpaksa harus berinteraksi dengan perokok maka berusahalah untuk tetap kuat tidak terpengaruh olehnya dan jika dorongan untuk merokok begitu kuat karena pengaruh lingkungan tersebut maka carilah alternatifnya, misalnya : dengan cara mengisap permen, seperti dilakukan sebagian orang.

6. Mintalah bantuan dan pertolongan kepada Allah untuk berhenti darinya.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini : Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Sunnah Tidaknya Shalat Ba’diyah Jumat

$
0
0

sigit1Assalamualaikum wr wb

Ustad sigit yang dimuliakan allah swt, saya pernah membaca buku yang berjudul “Kesalahan seputar sholat jum’at” disana dikatakan bahwa nabi melakukakn sholat sunnah ba’diyah jumat adalah 4 rakaat, namun nabi mengerjakan 2 rakaat apabila dirumah. apakah hal tersebut  benar ? sekarang ini saya lihat kebanyakan masyarakat maupun ustad mengerjakan sholat ba’diyah jumat 2 rakaat di msjid.

mohon jawabannya ustad

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Raufan yang dimuliakan Allah swt

Menurut para ahli ilmu terdapat shalat sunnah setelah shalat jum’at akan tetapi tidak ada shalat tertentu sebelumnya.

Terdapat riwayat bahwa shalat sunnah setelah jum’at dilakukan dengan dua rakaat. Ada riwayat yang menyebutkan empat rakaat dan ada juga riwayat yang menyebutkan enam rakaat dari hadits-hadits dan atsar-atsar berikut :

Dari Ibnu Umar bahwa “Nabi saw melaksanakan shalat ba’diyah jum’at dengan dua rakaat di rumahnya.” (HR. Bukhori Muslim)

Didalam riwayat Muslim dari Ibnu Umar bahwa dia mensifati shalat sunnah Rasulullah saw. Ibnu Umar berkata bahwa beliau saw tidaklah shalat setelah jum’at hingga beliau pulang lalu melaksanakan shalat dua rakaat di rumahnya.”

Dari Abu Hurairoh berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Apabila seorang dari kalian melaksanakan shalat jum’at maka shalatlah setelahnya empat rakaat.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar bahwa apabila dia berada di Mekah dan melaksanakan shalat jum’at kemudian dia maju ke depan untuk shalat dua rakaat lalu dia maju ke depan untuk shalat empat rakaat. Sedangkan apabila dia di Madinah dan melaksanakan shalat jum’at lalu dia pulang ke rumah kemudian melaksanakan shalat dua rakaat dan (sebelumnya) dia tidaklah melaksanakan shalat di masjid. Dia pun ditanya tentang itu. Dia menjawab bahwa Rasulullah saw melakukan yang seperti ini.” (HR. Tirmidzi, al Iraquy mengatakan sanadnya shahih)

Ibnu Umar melakukan shalat sunah dua rakaat kemudian empat rakaat dan ada kemungkinan bahwa apa yang dilakukannya itu juga berasal dari perkataan Rasulullah saw tentangnya dan juga perbuatan Nabi saw. Diriwayatkan dari Ali bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang melaksanakan shalat setelah jum’at maka lakukanlah enam rakaat.” Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman berkata,”Ibnu Mas’ud telah mengajarkan orang-orang agar melaksanakan shalat setelah jum’at dengan empat rakaat. Dan pada saat kedatangan Ali bin Abi Thalib maka beliau mengajarkan mereka untuk shalat enam rakaat.”

Kemudian ath Thahawi berkata,”Terdapat riwayat sebagaimana yang kami sebutkan bahwa shalat sunnah yang tidak seharusnya ditinggalkannya setelah jum’at adalah enam rakaat.” Ini adalah pendapat Abu Yusuf hanya saja dia mengatakan,”Yang paling aku sukai adalah mengawali dengan empat rakaat kemudian dua rakaat… “ (Syarh Ma’ani al Atsar 1/337)

Tentang kandungan dari hadits-hadits diatas para ahli ilmu mengatakan,”Tirmidzi menyebutkan setelah meriwayatkan hadits Ibnu umar bahwa Nabi saw melakukan shalat setelah juma’at dua rakaat. (dan sebagian ahli ilmu mengamalkan hal ini, demikian dikatakan oleh Syafi’i dan Ahmad) Sunan at Tirmidzi dengan Syarh “at Tuhfah” (3/46)

Hal itu juga dinukil dari Umar dan Imron bin Hushain serta an Nakh’i. Dan Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa dari kalian yang melaksanakan shalat jum’at maka shalatlah empat rakaat.” Sebagian ahli ilmu mengamalkan ini. Kemudian Tirmidzi menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud melakukan shalat setelah jum’at dengan empat rakaat. Dia juga menyebutkan bahwa Ali melaksanakan shalat setelah jum’at dua rakaat kemudian empat rakaat. (at Tuhfah 3/47 – 49)

Dinukil dari Alqamah dan Abu Hanifah bahwa dia melaksanakan shalat (setelah jum’at) dengan empat rakaat. Sekelompok ahli ilmu lainnya berpendapat bahwa shalat setelah jum’at dengan dua rakaat kemudian empat rakaat. Hal ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu umar serta Abu Musa, ini juga pendapat Atho’, Thawus dan Abu Yusuf dari ulama Hanafi.

Diantara para ahli ilmu ada yang memberikan pilihan kepada orang yang shalat diantara tiga pilihan. Dia bisa melaksanakan shalat dengan dua rakaat atau empat rakat atau enam rakaat. Syeikh Ibnu Qudamah mengatakan dari Imam Ahmad bahwa dia mengatakan,”Jika dia ingin maka dia bisa shalat setelah jum’at dengan dua rakaat dan jika dia ingin maka dia bisa dengan empat rakaat dan didalam riwayat jika dia ingin maka dia bisa shalat dengan enam rakaat.” Ibnu Qudamah berargumentasi dengan perkataan,”..bahwa Nabi saw melakukan itu semua hal ini berdasarkan berita-berita yang telah diriwayatkan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar,”Bahwa Rasulullah saw melaksanakan shalat setelah jum’at dengan dua rakaat,.” (Muttafaq Alaih dengn lafazh dari Muslim)

Nabi saw tidaklah melaksanakan shalat di masjid sehingga beliau beranjak pulang lalu melaksanakan dua rakaat di rumahnya.” Ini menunjukkan bahwa melakukan hal yang demikian adalah baik. Ahmad didalam sebuah riwayat Abdullah mengatakan,”Jika seseorang shalat dengan seorang imam kemudian dia tidak melaksanakan shalat sedikit pun hingga dia shalat ashar maka ini dibolehkan sebagaimana dilakukan oleh ‘Imron bin Hushain. Dan didalam riwayat Abu Daud,”Aku terperanjat dengan shalat—yaitu setelah jum’at.” (al Mughni 2/269 – 270).

Ishaq bin Rohuyah berkata bahwa jika seseorang shalat di masjid pada hari jum’at maka hendaklah empat rakaat dan jika dia shalat di rumahnya maka hendaklah dua rakaat. Tirmidzi menyebutkan di dalamnya “Sunan” nya dan al Iraqiy didalam kitab “Tharhu at Tatsriib” 3/83. Hal ini menjadi pilihan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Ibnu al Qayyim mengatakan : Syeikh kami Abu al Abbas ibnu Taimiyah mengatakan,”Jika shalat di masjid maka shalat lah empat rakaat dan jika shalat di rumahnya maka shalatlah dua rakaat.” Aku berkata,”Inilah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits dan Abu Daud menyebutkan dari Ibnu Umar bahwa apabila dia shalat di masjid maka dia shalat empat rakaat dan jika shalat di rumahnya maka dia shalat dua rakaat.” (Zaad al Ma’ad 1/440)

Al Lajnah ad Daimah Li al Buhuts al Ilmiyah wa al Iftaa as Su’udiyah memilih pendapat diatas dan mengatakan bahwa dengan menggabungkan antara hadits yang menyebutkan disyariatkannnya empat rakaat juga hadits yang menyebutkan disyariatkannnya dua rakaat setelah jum’at maka shalat empat rakaat jika di masjid dan dua rakaat jika shalat di rumahnya. Ada juga penggabungan yang lain dari dua hadits itu yaitu bahwa sunat rawatib setelah jum’at minimal dua rakaat dan maksimal empat rakaat baik dilakukan di rumah atau pun di masjid.” (Ghayah al Murom-7/257)

Al Hafizh Ibnu Abdil Barr setelah menyebutkan berbagai riwayat tentang sunnah ba’diyah jum’at bahwa terjadi perselisihan dikalangan para ulama salaf didalam permasalahan ini yaitu suatu perbedaan yang diperbolehkan dan mengandung kebaikan bukan perbedaan yang dilarang dan diharamkan. Dan semua itu adalah baik, insya Allah.” Fath al Malik 3/254

Al Hafizh Abu Zur’ah al Iraqiy mengatakan : Ibnu Abdil Barr mengatakan : Abu Hanifah mengatakan bahwa Shalat setelah jum’at adalah empat rakaat. Pada bagian lain, dia mengatakan enam rakaat. Ats Tsauriy mengatakan,”Jika engkau shalat empat rakaat atau enam rakaat maka itu baik.”al Hasan bin Hayy berkata,”Shalat empat rakaat.” Ahmad bin Hambal mengatakan,”Yang paling aku sukai adalah shalat setelah jum’at dengan enam rakaat akan tetapi jika dia shalat dengan empat rakaat maka itu baik dan tidak mengapa.” Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa seluruh pendapat tersebut diriwayatkan dari para sahabat baik lewat perkataan maupun perbuatan. Dan tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa hal itu adalah pilihan.

Ibnu Batthal mengatakan : Sekelompok orang yang mengatakan,”Shalat setelah jum’at dua rakaat itu adalah riwayat dari Ibnu Umar, Imron bin Hushain dan an Nakh’i. Sekelompok orang lainnya mengatakan,”Shalat setelah jum’at dua rakaat lalu empat rakaat adalah riwayat dari Ali, Ibnu Umar dan Abu Musa, dan ini adalah pendapat ‘Atho’, ats Tsauriy dan Abu Yusuf namun Abu Yusuf lebih menyukai mendahulukan empat rakaat sebelum dua rakaat.” Sekelompok orang mengatakan,”Shalat empat rakaat (langsung) tidak dipisah dengan salam adalah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Alqamah dan an Nakh’i, ini juga pendapat Abu Hanifah dan Ishaq.

Nawawi didalam “Syarh Muslim” mengatakan,”Perhatikan sabdanya,”Barangsiapa dari kalian melakukan shalat” adalah menunjukkan bahwa itu hanyalah sunnah bukan kewajiban. Penyebutan empat rakaat adalah karena kelebihannya sedangkan perbuatan Nabi saw yang dua rakaat pada beberapa waktu adalah sebagai penjelasan karena minimal shalat itu adalah dua rakaat.” Dia mengatakan sebagaimana telah diketahui bahwa Nabi saw melaksanakan shalat di kebanyakan waktu dengan empat rakaat karena beliau saw memerintahkan untuk itu dan menganjurkan hal itu dengan sabdanya,”Apabila seorang dari kalian melaksanakan shalat jum’at maka shalatlah setelahnya dengan empat rakaat.” Ini adalah anjuran kebaikan, antusias dengannya dan sebagai sebuah keutamaan…..

Adapun empat rakaat yang dilakukan setelah jum’at maka shalat itu dilakukan dengan satu kali salam, ini pendapat yang paling tepat menurut para ahli ilmu. As Saukani berkata,”Telah terjadi perselisihan tentang empat rakaat ; Apakah ia (empat rakaat) itu dilakukan secara langsung dengan satu salam di rakaat terakhirnya atau dipisah diantara dua rakaat dengan dua salam : Ahli ar Ro’yi, Ishaq bin Rohuyah memilih pendapat pertama, inilah yang tampak lahiriyah (zhahir) dari hadits Abu Hurairoh. Sedangkan Syafi’i dan jumhur memilih pendapat kedua, sebagaimana dikatakan al Iraqiy bahwa mereka beargumentasi dengan sabdanya,”Shalat di siang hari dua dua.” (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban didalam shahihnya). Tampak lahiriyah (zhahir) adalah pendapat pertama karena menggunakan dalil yang khusus sedangkan kelompok kedua menggunakan dalil yang umum dan membangun yang umum diatas yang khusus adalah wajib.” (Nailul Author 3/319 – 320)

Diriwayatkan oleh Muhammad bin al Hasan didalam kitabnya “al Atsar” dari Ibrahim an Nakh’i berkata,”Empat rakaat setelah zhuhur dan empat rakaat setelah jum’at tidaklah dipisah diantara keduanya dengan salam.” (Al Atsar 1/280)

Ringkasnya : Seorang yang melaksanakan shalat setelah jum’at memiliki kelapangan dalam hal ini. Dia bisa melaksanakan shalatnya dengan dua rakaat, dia bisa melaksanakan empat rakaat dan jika dia melaksanakan shalat empat rakaat maka shalatlah dengan satu kali salam.” (Fatawa Yasaluunaka 6/62 – 66)

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Doa dan Shalat Sunnah di Malam Pertama

$
0
0

sigit1Assalamu’alaikum wr wb

Ustad, insyaAllah sebentar lagi saya menikah. Ada dua hal yang ingin saya tanyakan berkenaan dengan malam pertama (maaf jika pertanyaannya terlalu vulgar)

  1. Apakah doa “Allahumma jannibnas syaithoona, dan seterusnya” itu dibaca menjelang jima’ atau sebelum menyentuh (mencium) istri?
  2. Jika pada saat ijab qabul istri sedang haid, bagaimana dengan sholat sunnah berjama’ahnya? Apakah harus dilakukan setelah istri suci? atau langsung mendoakannya dengan memegang ubun-ubun istri?

Terimakasih sebelumnya.

Waalaikumussalam Wr Wb

Doa Ingin Berjima’

Dari Ibnu Abbas berkata.”Rasulullah saw bersabda,’Seandainya seorang dari kalian ingin mendatangi keluarganya (hendaklah dia ) berdoa : Allahumma Jannibnasy Syaithon wa Jannibisy Syaithon Maa Rozaqtanaa (Wahai Allah jauhilah kami dari setan dan jauhilah setan dari kami terhadap rezeki yang Engkau berikan kepada kami). Sesungguhnya jika dikehendaki diantara mereka berdua seorang anak saat itu maka setan tidaklah dapat mencelakakannya selamanya.” (Muttafaq Alaihi)

Ash Shan’aniy mengatakan bahwa ini merupakan lafazh dari Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil agar berdoa sebelum berhubungan dengan istri ketika muncul keinginan untuk itu. Riwayat ini menafsirkan riwayat ,”Seandainya seorang dari kalian berdoa saat mendatangi istrinya—dikeluarkan oleh Bukhori—bahwasanya maksud dari saat adalah ingin. Kata ganti dari jannibna adalah untuk laki-laki (suami) dan perempuan (istri). (Subul as Salam juz III hal 273)

Jadi doa tersebut dibaca seseorang ketika hendak menggauli istrinya sebelum berbagai muqoddimah (permainan) jima’ dilakukan.

Mendoakan Istri dan Shalat Dua Rakaat Setelah Ijab Kabul

DIanjurkan bagi seorang suami setelah melangsungkan akad nikahnya untuk meletakkan tangannya di kening istrinya sambil berdoa,” Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih—Wahai Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan dari apa yang Engkau berikan kepadanya serta Aku berlindung kepada-Mu daripada keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya..”

Selain itu dianjurkan bagi mereka berdua untuk melaksanakan shalat dua rakaat dan berdoa kepada Allah agar diberikan kebaikan dan dihindarkan dari keburukan. Diriwayatkan Ibnu Syaibah dari Ibnu Masud, dia mengatakan kepada Abi Huraiz,”Perintahkan dia untuk shalat dua rakaat dibelakang (suaminya) dan berdoa,”Allahumma Barik Lii fii Ahlii dan Barik Lahum fii. Allahummajma’ Bainanaa Ma Jama’ta bi Khoirin wa Farriq Bainana idza Farroqta bi Khoirin—Wahai Allah berkahilah aku didalam keluargaku dan berkahilah mereka didalam diriku. Wahai Allah satukanlah kami dengan kebaikan dan pisahkanlah kami jika Engkau menghendaki (kami) berpisah dengan kebaikan pula.”

Dari Syaqiq berkata,”Datang seorang laki-laki yang dipanggil dengan Abu Huraiz lalu dia berkata kepada Ibnu Mas’ud,’Sesungguhnya aku menikahi seorang budak perempuan perawan. Sesungguhnya aku takut dia akan membenciku.’ Lalu Abdullah (bin Mas’ud) mengatakan, ’Seungguhnya rasa cinta berasal dari Allah dan kebencian dari setan yang ingin menjadikan kebencian kepada kalian terhadap apa-apa yang dihalalkan Allah. maka jika dia mendatangimu maka shalatlah dua rakaat dibelakangmu.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

Jika seorang wanita yang baru melangsungkan akad nikah sedang dalam keadaan haidh maka cukuplah dirinya dan suaminya berdoa kepada Allah swt meminta kebaikan dari-Nya bagi mereka berdua dan keluarganya.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini : Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Pengobatan terhadap Sihir

$
0
0

sigitAssalaamu ‘alaikum wr.wb.

Yang saya ketahui adalah sihir dapat diterapi dengan rukyah. Akan tetapi sihir itu terdiri dari bermacam-macam jenis bahkan ada yang cukup kompleks dan parah,

Saya pernah membaca di buku bahwa ada jenis tertentu yang bisa dibantu dengan air, daun sirih, daun bidara yang telah dibacakan ayat al qur’an. Atau mencari tempat disimpannya dan dimusnahkan. Di manakah bisa ditemukan orang yang ahli menangani hal ini? Saya yakin bahwa orang yang shaleh, orang yang imannya kuat dan berpengalaman yang bisa membantu dengan baik masalah ini. Orang tertentu yang sangat dekat dengan Allah diberi kelebihan yang luar biasa. Tapi kadang2 ada yang terlihat samar. Bagaimana caranya agar tidak tertipu/tidak terlempar dalam kesyirikan? Bagaimana membedakan sihir dengan kharamah serta istidraj?

Waalaikumussalam Wr Wb

Jumhur Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sihir ada dua macam :

1. Ia adalah trik, tipuan, menakut-nakuti, sulap dan khayalan yang tidak nyata atau ia nyata akan tetapi sangat halus sumbernya. Seandainya ia tersingkap pasti ia akan mengetahui bahwa itu merupakan perbuatan biasa yang dimungkinkan bagi orang yang mengetahui rupanya akan melakukan seperti perbuatan itu. Secara umum perbuatan itu berdiri diatas pengetahuan tentang materi-materi khusus, khayalan rekayasa atau sejenisnya. Dan tidak ada salahnya memasukkan perbuatan itu kedalam istilah sihir, sebagaimana firman Allah swt :


فَلَمَّا أَلْقَوْاْ سَحَرُواْ أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ

Artinya : ” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena’jubkan).” (QS. Al A’raf : 116)

2. Ia adalah nyata, ada dan memiliki pengaruh di badan, sebagaimana pendapat para ulama Hanafi seperti pendapat Ibnul Hammam, para ulama Syafi’i dan Hambali. Orang-orang yang mengatakan bahwa sihir memberikan pengaruh, menimbulkan sakit, kemudharatan atau sejenisnya berdalil dengan firman Allah swt :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾
مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾
وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾
وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾
وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾

Artinya : “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS. Al Falaq : 1 – 5) Menghembuskan buhul-buhul adalah sihir-sihir dari kaum wanita. Dan tatkala diperintahkan untuk belindung dari kejahatan para penyihir perempuan itu maka bisa diketahui bahwa sihir itu memiliki pengaruh dan kemudharatan.
Firman Allah swt :

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ

Artinya : “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.” (QS. Al Baqoroh : 102)

Terdapat riwayat bahwa Nabi saw pernah disihir sehingga dia berkhayal melakukan sesuatu yang sebetulnya dia tidak melakukannya.”. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 8566 – 8569)

Didalam pengobatan terhadap sihir ini maka kebanyakan ulama tidak memperbolehkan dengan menggunakan sihir. Akan tetapi hendaklah pengobatannya dengan cara meruqyah, membacakan al Qur’an, dzikir-dzikir dari Nabi saw didalam meruqyahnya, berdoa dan meminta penyembuhan dari Allah swt.

Dalam penggunaan cara ruqyah ini pun, seorang yang meruqyah perlu mewaspadai dan barhati-hati agar tidak terjebak kedalam perkara-perkara kemusyrikan. Untuk itu ada beberapa patokan terhadap ruqyah syar’iyah (disyariatkan) ini adalah :

1. Ruqyah tersebut bukan ruqyah (jampi) yang mengandung kemusyrikan, seperti seorang yang meruqyah dengan meminta pertolongan atau bantuan kepada makhluk didalam perkara-perkara yang tidak ada yang menyanggupinya kecuali Allah saja, berdoa kepada makhluk untuk meyingkap sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah saja, berdasarkan firman-Nya :

Artinya : “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui..” (QS. Fathir : 13 – 14)

Tentang patokan ini terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Auf bin Malik al Asyja’i berkata,”Kami dahulu melakukan ruqyah pada saat jahiliyah. Lalu kami bertanya,’Wahai Rasulullah apa pendapatmu?’ beliau saw bersabda,’Perlihatkanlah ruqyahmu kepadaku. Tidak mengapa ruqyah yang didalamnya tidak terdapat kesyirikan.”

2. Ruqyah tersebut bukan ruqyah sihir, karena Allah swt mengharamkan sihir dan ia termasuk didalam kekufuran sebagaimana firman Allah swt :

وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ

Artinya : “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaita pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada nusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (QS. Al Baqoroh : 102)

3. Ruqyah tersebut bukan berasal dari seorang peramal atau dukun walaupun ia bukanlah seorang penyihir. Hal itu dikarenakan larangan dari Rasulullah saw untuk mendatanginya terlebih lagi membenarkan perkataannya, termasuk pula meminta ruqyah (jampi) darinya. Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal atau dukun lalu membenarkan perkataannya maka sungguh orang itu telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.” (HR. Ahmad, Hakim dan Baihaqi)

4. Hendaklah ruqyah menggunakan kata-kata yang bisa difahami. Karena menggunakan kata-kata atau lafazh-lafazh yang tidak bisa difahami tidaklah aman dari adanya kemusyrikan didalamnya. Dan setiap yang memungkinkan adanya kemuyrikan maka tidak boleh menggunakannya.

Ibnu Hajar mengatakan bahwa ruqyah dibolehkan jika mengandung tiga persyaratan : menggunakan firman Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah dan bahasa arab atau bahasa yang bisa difahami serta meyakini bahwa ruqyah itu sendiri tidaklah bisa memberikan pengaruh akan tetapi Allah lah yang memberikannya pengaruh.

5. Hendaklah ruqyah tidak menggunakan pola-pola atau cara-cara yang diharamkan, seperti ruqyah yang dimaksudkan di kuburan, kamar mandi, menggunakan huruf-huruf abjad, dengan melihat bintang gemintang, melumasi dengan najis-najis atau menampakkan aurat.

6. Ruqyah tersebut tidak menggunakan ungkapan-ungkapan yang diharamkan, seperti menghina, mengejek, melaknat karena Allah tidak menjadikan obat dengan sesuatu yang diharamkan.

7. Seorang yang meruqyah dan yang diruqyah tidak boleh menganggap bahwa ruqyah itu sajalah yang memberikan penyembuhan atau menghilangkan kemudharatan. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa doa-doa, ta’awwudz bagai sebuah senjata. Senjata yang bisa melumpuhkan bukan hanya dari ketajamannya saja. Ketika terdapat sebuah senjata yang tajam tanpa aib lalu tangan yang memegangnya pun begitu kuat dan tidak ada penghalangnya maka pedang itu akan berhasil membunuh musuh. Dan ketika salah satu dari ketiga itu tidak ada maka pengaruhnya juga akan berkurang. Begitu pula dengan ruqyah maka ruqyah itu mesti yang diperbolehkan atau disunnahkan, lalu pembacanya pun haruslah seorang yang ikhlas dan terkumpul didalam dirinya persyaratan (diterimanya) doa serta adanya kehendak dan keinginan Allah terhadap penyembuhannya. (diringkas dari buku : ar Ruqo ‘ala Dhoui Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal 59 – 73)

Adapun perbedaan antara sihir, karomah dan istidroj. Sihir sebagaimana dijelaskan diawal bahwa ia adalah kejadian yang melampaui batas-batas kesanggupan manusia dengan meminta bantuan kepada setan, seperti merubah tali dan tongkat jadi ular, sebagaimana para penyihir Fir’aun.

Karomah adalah kejadian diluar kebiasaan manusia yang diberikan Allah swt kepada para wali-wali-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Para wali ini adalah orang-orang yang mencintai Allah, Rasul-Nya, istiqomah dengan syari’at-Nya. Karomah ini bisa terjadi pada suatu waktu dan belum tentu pada waktu yang lainnya. Ia tidaklah bisa dipredikisi atau dipelajari.

Sedangkan istidroj adalah kejadian luar biasa yang dilakukan oleh seorang yang kafir atau fasiq. Istidroj ini merupakan jalan terjadinya sihir bagi seorang yang kafir atau fasiq.

Sedangkan perbedaan antara karomah dengan sihir adalah bahwa seorang wali yang diberikan karomah kepadanya adalah seorang yang dekat dengan Allah, beriman, bertakwa, istiqomah diatas syariat-Nya, melakukan berbagai ketaatan dan menjauhi kemunkaran berbeda dengan seorang penyihir, ia adalah seorang fasiq, berjiwa kotor, pelaku dosa besar.

Karomah tidaklah bisa dipelajari karena ia adalah pemberian dari Allah karena keutamaan orang yang mendapatkannya sedangkan sihir bisa dipelajari dengan bantuan setan.

Adapun tentang menggunakan daun bidara yang dihaluskan kemudian dicampurkan dengan air lalu diminumkan kemudian sisanya dipakai untuk mandi maka hal itu dibolehkan. Ibnu Katsir menyebutkan didalam tasirnya bahwa Al Qurthubi menceritakan dari Wahab bahwa dia mengatakan,”Ambillah tujuh helai daun bidara lalu tumbuk diantara dua buah batu kemudian campurkan di air dan dibacakan ayat kursi kamudian diminumkan kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga kali tegukan lalu mandikan dia dengan air sisanya maka ia akan menghilangkan sihirnya. Terutama bagi suami yang terhalang menggauli istrinya”

Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang paling bermanfaat dalam menghilangkan pengaruh sihir adalah dengan menggunakan apa yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya untuk menghilangkan hal itu yaitu membaca al muawwidzatain (al Falaq dan an Naas) dan ayat kursi karena ayat-ayat itu dapat mengusir setan. (Tafsirul Quranil Azhim juz : I hal 372)

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…

Viewing all 153 articles
Browse latest View live